Melawan Terorisme
PENYERANGAN Polsek Wonokromo oleh seseorang yang diketahui bernama Imam Musthofa pada Sabtu (17/8) sangat memprihatinkan. Meskipun polisi belum menyebutkan secara resmi motif pembacokan terhadap seorang polisi oleh seseorang secara random tersebut, hampir semua mengetahui bahwa hal itu sangat mungkin terkait dengan terorisme.
Jika melihat ciri dan polanya, aksi seperti itu biasa dilakukan oleh lone wolf. Seseorang dengan ilmu fikih ngawur dan hanya asal menyerang untuk menjadi martir. Pola tersebut kini menjadi tren para pengikut ISIS di seluruh dunia. Eropa sudah berkali-kali mengalami serangan seperti itu.
Secara logika, apa sih motif seseorang menyerang sebuah kantor polisi dan anggota kepolisian secara acak? Tak ada jawaban logis lainnya, selain ini kasus seorang fanatik yang asal melakukan teror.
Mau disadari atau tidak, kita harus mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang paling menderita aksi terorisme. Indonesia tidak hanya menjadi negara sasaran, tetapi juga kawasan perekrutan dan pengembangan.
Kendati demikian, tidak berarti hal tersebut tak bisa dilawan. Yang pertama, ubah paradigma bahwa terorisme hanya urusan aparat. Pandangan itu bisa membahayakan karena akan membuat masyarakat terlena dan abai terhadap lingkungan sekitar.
Terorisme tidak berasal dari ruang kosong. Ia mempunyai pola. Pola tersebut bisa dipelajari dan diendus. Ada ciri-ciri yang bisa dikenali dan ditelaah. Pendidikan yang terkait dengan persoalan terorisme dan radikalisasi seharusnya diintensifkan. Dengan demikian, orang tahu batas, mana orang yang murni ingin beribadah dan mana yang ingin mengubah bentuk negara dengan kekerasan.
Kedua, sebenarnya kita punya modal sosial untuk melawannya. Tak sedikit bekas napiter yang akhirnya ”sadar”, kemudian berbalik melakukan deradikalisasi. Sayang, mereka kurang terakomodasi. Kerap mereka harus berjuang sendiri berebut pengaruh dengan kelompok radikal di penjara-penjara.
Dua hal itu seharusnya bisa dikolaborasikan sehingga gerakan melawan terorisme juga menjadi gerakan masyarakat. Aparat yang melakukan tindakan represif, sementara masyarakat mempunyai fungsi pencegahan, pemindaian, dan pertahanan dari paham radikal mulai dari kampung sendiri.
Terorisme mungkin akan selalu menjadi ancaman, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Namun, setidaknya kita bisa membuat masyarakat yang imun terhadap radikalisme dan terorisme.