Jawa Pos

Agustusan dan Multikultu­ralisme

- BIYANTO *)

Salah satu penyebab terjadinya insiden intolerans­i adalah tidak adanya kesiapan warga untuk hidup berdamping­an dalam suasana yang beragam. Karena itu, perayaan Agustusan penting menjadi spirit untuk mengajak warga bangsa memahami multikultu­ralisme.’’

perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-74 Kemerdekaa­n RI begitu terasa di sudut-sudut kota hingga pelosok desa. Jika diamati secara saksama, perayaan HUT RI sejatinya bisa menjadi media yang efektif untuk menyemai nilai-nilai multikultu­ralisme. Warga bangsa lintas agama, budaya, dan etnis bergairah untuk menyambut perayaan tujuh belasan atau Agustusan. Mereka bertemu, saling bertegur sapa, dan bercanda ria meski sejatinya berbeda latar belakang sosial.

Perayaan Agustusan benar-benar menjadi semacam kuali peleburan berbagai kelompok (melting pot). Masyarakat yang heterogen terasa menjadi semakin homogen. Perbedaan antarwarga masyarakat melebur dalam berbagai bentuk kemeriahan perayaan Agustusan. Realitas ini menunjukka­n bahwa Agustusan begitu bermakna untuk membumikan nilai-nilai multikultu­ralisme.

Multikultu­ralisme merupakan paham yang mengajarka­n pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya sehingga menumbuhka­n kesiapan untuk hidup dalam kemajemuka­n. Meminjam istilah Abdul Mukti Ali (1989), setiap pribadi harus setuju dalam perbedaan (agree in disagreeme­nt). Apalagi realitas menunjukka­n bahwa kemajemuka­n merupakan sebuah keniscayaa­n. Dalam pandang agama, kemajemuka­n juga dikatakan bagian dari rencana Tuhan (sunnatulla­h).

Karena itulah, kemajemuka­n harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi sumber konflik sosial.

Pada konteks itulah, Will Kymlicka dalam Multicultu­ral Citizenshi­p

(1995) menegaskan bahwa multikultu­ralisme meniscayak­an kelompok mayoritas mengakomod­asi perbedaan kelompok minoritas sehingga kekhasan mereka tetap terjaga. Multikultu­ralisme juga menjadi tantangan semua negara, termasuk negeri tercinta. Apalagi insiden intolerans­i berlatar belakang perbedaan agama dan paham keagamaan masih terus terjadi di berbagai daerah.

Penting disadari bahwa salah satu penyebab terjadinya insiden intolerans­i adalah tidak adanya kesiapan warga untuk hidup berdamping­an dalam suasana yang beragam. Karena itu, perayaan Agustusan penting menjadi spirit untuk mengajak warga bangsa memahami multikultu­ralisme. Menurut Haryatmoko (2007), ada tiga alasan yang menjadikan multikultu­ralisme sangat penting.

Pertama, adanya fenomena penindasan atau penafian atas dasar etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Dikotomi antara kita (ingroup, minna) dan mereka (outgroup, minhum) terus dilembagak­an untuk menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan. Pelembagaa­n diskrimina­si ini dapat diamati di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan politik, dan hubungan sosial lainnya.

Kedua, istilah minoritas secara sistematis digunakan untuk memarginal­kan kelompok tertentu dengan memberi label ”tidak terlalu penting” dalam berhubunga­n dengan kelompok mayoritas. Padahal, sebutan mayoritas dan minoritas hanya soal tempat. Di suatu daerah suatu kelompok disebut mayoritas. Sementara di daerah lain, kelompok ini dilabeli minoritas. Karena itu, kelompok mayoritas harus berempati pada minoritas.

Ketiga, kaum urban dan migran sering kali menjadi pihak yang dipinggirk­an oleh kelompok mayoritas. Situasi ini terjadi sepanjang era otonomi daerah. Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah sering disalahart­ikan dengan pemihakan terhadap warga pribumi (lokal). Akhirnya, terjadi diskrimina­si terhadap warga pendatang. Dampaknya, rekrutmen pejabat publik tidak lagi didasarkan pada kompetensi dan rekam jejak, melainkan asal daerah, golongan, afiliasi politik, serta tim sukses.

Sebagai upaya untuk membumikan nilai-nilai multikultu­ralisme, penting dikemukaka­n pemikiran filsuf Prancis Emmanuel Levinas (1906–1995). Dalam teori tentang penampakan wajah (The face of the other), Levinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Wajah yang lain memang berbeda dari aku. Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak boleh melahirkan kekerasan. Kehadiran yang lain justru menumbuhka­n kultur positif dalam kehidupan.

Melalui teori penampakan wajah, akan tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain akan memungkink­an orang saling bertegur sapa serta mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang lain itu akan mengkrista­l dalam kesadaran seseorang. Teori Levinas jelas mengajarka­n bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai rasa empati dan nir-kepentinga­n.

Jika pandangan Levinas dibumikan, kehidupan umat akan terasa indah. Antarindiv­idu atau kelompok tidak mudah menghakimi, apalagi menyakiti, hanya karena perbedaan agama, budaya, dan etnik. Selalu akan tergambar dalam diri sendiri wajah orang lain. Senantiasa muncul kesadaran bahwa menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri. Bukankah semua agama juga mengajarka­n pemeluknya mencintai orang lain laksana mencintai diri sendiri?

Kini tugas pemerintah dan masyarakat adalah menciptaka­n sebanyak mungkin media untuk perjumpaan-perjumpaan informal antarwarga, seperti halnya perayaan Agustusan. Kegiatan dialog antariman, pergelaran seni lintas budaya, permainan olahraga, bakti sosial, dan aneka hiburan lintas etnis bisa menjadi media yang efektif untuk membumikan nilainilai multikultu­ralisme. (*) *) Dosen filsafat Program Pascasarja­na UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiy­ah Jawa Timur

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia