Antisipasi Era Kendaraan Listrik
JAKARTA, Jawa Pos – Pertamina serius terjun ke bisnis energi baru terbarukan (EBT) guna mengantisipasi perkembangan industri mobil listrik di dalam negeri. Sebab, secara perlahan, era kendaraan listrik dapat mengancam bisnis bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Khamid menyatakan, dampak negatif mobil listrik terhadap jumlah pembelian minyak terlihat di Tiongkok. Penjualan minyak di Negeri Panda stagnan beberapa waktu terakhir. ’’Dalam situasi disrupsi ini, Pertamina tetap waspada,’’ ungkapnya akhir pekan lalu. Jumlah kendaraan listrik di Tiongkok mencapai 2,7 juta unit. Jumlah tersebut lebih separo daripada total kendaraan listrik di dunia, yaitu 4,7 juta unit.
Di EBT, salah satu sasaran Pertamina adalah bisnis pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Anak usaha perseroan, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), menargetkan kapasitas yang terpasang PLTP 1.112 mw pada 2026. Direktur Utama PGE Ali Mundakir menjelaskan, PGE sedang mengembangkan panas bumi di Proyek Hululais (Bengkulu), Proyek Sungai Penuh (Jambi), dan PLTP unit 2 di Proyek Lumut Balai (Sumsel).
’’Juga, tiga inisiasi eksplorasi di Proyek Seulawah, Aceh; Proyek Gunung Lawu, Jawa Tengah; dan Proyek Bukit Daun, Bengkulu,’’ katanya. PGE kini mengelola 14 wilayah kerja panas bumi. Beberapa di antaranya dikelola dan dioperasikan sendiri serta lainnya melalui skema joint operation contract (JOC) dengan perusahaan lain.
Saat ini PGE mengoperasikan lima area panas bumi dengan total kapasitas terpasang 617 mw. Perinciannya, Kamojang 235 mw di Jawa Barat, Ulubelu 220 mw di Lampung, Lahendong 120 mw di Sulawesi Utara, Karaha 30 mw di Jawa Barat, dan Sibayak 12 mw di Sumatera Utara. Pihaknya juga baru melakukan first synchronize PLTP Lumut Balai Unit 1 Sumsel dengan kapasitas 55 mw.
’’Kami menargetkan, pada akhir Agustus, Lumut Balai 1 bisa beroperasi komersial,’’ tambahnya. Menurut dia, pembangkitan listrik panas bumi 617 mw oleh PGE berpotensi menurunkan emisi 3,2 juta ton CO2 per tahun dan menghemat cadangan devisa migas 29 mboepd.
JAKARTA, Jawa Pos – Naik turunnya tensi dagang menjadi penyebab tantangan ekspor kian berat. Sejak tahun lalu, kinerja perdagangan, investasi, dan ekonomi global tumbuh melambat karena adanya perang dagang. Tahun ini pun tak jauh beda. Pada Juli lalu, neraca perdagangan Indonesia defisit USD 63,5 juta. Impor tercatat USD 15,51 miliar, turun 15,21 persen dari Juli tahun lalu. Sedangkan ekspor tercatat USD 15,45 miliar, turun 5,12 persen secara yearon-year (YoY).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan, pemerintah dan pelaku usaha harus berusaha keras meningkatkan kinerja perdagangan dan industri ke depan. ’’Impor minyak, barang elektronik, dan makanan kita masih besar. Kalau mau ekspor, sekarang masih ada perang dagang. Ya kita harus meningkatkan perundingan dagang dan meningkatkan daya saing produk,” katanya akhir pekan lalu.
Kecuk –sapaan akrab Suhariyanto– menambahkan, hal itu juga dialami berbagai negara. Menurut dia, Indonesia harus bisa bertahan menghadapi badai global tersebut. Sebab, tantangan ekspor ke depan kian besar jika Indonesia tak melakukan berbagai upaya. Mencari pasar ekspor baru, kata dia, harus terus diupayakan agar Indonesia tak melulu bergantung pada pasar ekspor tradisional seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Jepang.
’’Kita harus meningkatkan ekspor manufaktur yang mempunyai nilai tambah,” ujarnya. Ekspor manufaktur ini tidak hanya dapat memperbaiki kualitas ekspor, tetapi juga akan menciptakan lapangan kerja dan investasi baru. Hal itu akan berdampak baik bagi pertumbuhan ekonomi ke depan.
Saat ini, Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Antara lain, kekalahan atas gugatan Brasil ke World Trade Organization (WTO) soal impor daging ayam serta susahnya mengekspor crude palm oil (CPO) dan biodiesel ke Eropa. Belum lagi persaingan ketat ekspor CPO ke India dengan Malaysia. Hal itu tentu juga akan memengaruhi neraca perdagangan ke depan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan, pihaknya sudah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan ekspor biodiesel. Salah satunya dengan menyampaikan nota keberatan kepada WTO terkait sengketa biodiesel. Indonesia juga mengupayakan pembalasan dengan melakukan kampanye pada importer lokal untuk tidak mengimpor produk susu dan olahannya dari Uni Eropa.
’’Ya kita juga terus meningkatkan daya saing produk kita, kita kerja sama dan koordinasi dengan Menperin (Airlangga Hartarto). Jadi, tidak hanya fokus pada rundingan dagang. Banyak usaha yang kita lakukan,” ujar Enggar, sapaan akrab Enggartiasto.