Jawa Pos

Lepas Lelah Berhenti di Setiap Tikungan

- M. HILMI SETIAWAN, Makkah, Jawa Pos

Puncak ibadah haji sudah berlalu. Sejumlah jamaah masih ingin menghabisk­an waktu di tempat-tempat paling suci bagi umat Islam itu. Di antaranya, mendaki Jabal Nur sampai ke puncaknya. Kemudian, antre berdesakan untuk salat dua rakaat di dalam Gua Hira.

WAKTU menunjuk pukul 03.30 waktu setempat Senin (26/8). Siti Rohana bersama tiga rekannya sudah bergegas masuk ke kendaraan. Supaya bisa secepatnya sampai di kaki Jabal Nur untuk mendaki sampai ke Gua Hira.

Sekitar setengah jam kemudian rombongan Siti Rohana tiba di kaki gunung yang berjarak hampir 4 km dari Masjidilha­ram itu J

Rombongan jamaah haji laki-laki naik lebih dahulu. Sementara itu, Siti Rohana, Siti Martina, Ame Amelia, dan Semiyati mengikuti dari belakang.

Tak berselang lama, rombongan laki-laki sudah jauh di depan. Padahal, masih di kaki gunung. Masih di jalan yang beraspal. Belum sampai ke anak tangga. Kontur jalan di kaki Jabal Nur memang sudah menukik naik. Kemiringan­nya sekitar 45 derajat. Jalan tersebut seperti menjadi ajang pemanasan sebelum naik ke gunung yang puncaknya berada pada titik 642 meter di atas permukaan laut itu.

Saking curamnya jalan tersebut, tidak semua mobil bisa melaju sampai ke ujung aspal. Terlihat hanya mobil taksi berjenis sedan yang bisa sampai mendekat ke dimulainya anak tangga Jabal Nur. Papan bertulisan ”Subhanalla­h” menyambut para peziarah yang memulai perjalanan mendaki Jabal Nur.

Perempuan asal Depok yang tergabung dalam kloter JKS-74 itu mengaku sempat tersalip tiga rekannya. Terkadang dia juga mendahului teman-temannya. Sebab, setiap di tikungan, ada di antara mereka yang berhenti untuk beristirah­at. ”Alhamdulil­lah ini sudah sampai atas dan bisa kumpul berempat,” kata perempuan berusia 47 tahun itu.

Dia kemudian langsung minta tolong difotokan bersama tiga rekannya. Foto tersebut lantas dia kirim ke Umi. Rohana menuturkan, Umi adalah pembimbing dari kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Tujuan mengirim foto tersebut adalah rekannya yang menunggu di bawah tenang. ”Apalagi, ini sudah banyak petugas haji,” jelasnya.

Sekitar sepertiga dari perjalanan menuju Gua Hira, jalur pendakian sudah tidak terlalu terjal. Kemudian, anak tangganya juga tidak terlalu tinggi seperti di bagian bawah. Selain itu, dilengkapi dengan besi untuk pegangan. Rohana dan teman-temannya lantas berpamitan ingin segera naik ke puncak, kemudian melihat Gua Hira. Dia mengaku sangat penasaran untuk melihat langsung titik di mana Rasulullah menerima wahyu untuk kali pertama itu.

Secara pasti, jumlah anak tangga –mulai kaki gunung hingga puncak– tidak bisa dihitung. Sebab, di sejumlah bagian tidak ada anak tangganya. Hanya berupa batu datar. Juga, ada batu tidak beraturan yang digunakan sebagai pijakan. Namun, menurut sejumlah referensi, anak tangga mulai bawah sampai ke puncak Jabal Nur berjumlah 1.750.

Di beberapa titik, anak tangga sedang diperbaiki. Disemen supaya rata dan tidak berlubang. Kegiatan itu dilakukan orang-orang sekaligus untuk meminta sumbangan. Beberapa jamaah terlihat memberikan sumbangan, mulai 1 riyal (sekitar Rp 3.900). Tetapi, jika diteliti di kotak sumbangan, ada juga uang pecahan Rp 1.000, Rp 2.000, serta uang pecahan negara lainnya. Seperti dari Malaysia dan Iran.

Pagi itu rombongan petugas media center haji (MCH) yang berangkat dari kantor Daker Makkah menuju Jabal Nur dibagi dalam dua gelombang. Perjalanan yang dibutuhkan dari kaki gunung hingga ke puncak rata-rata lebih dari sejam.

Sebab, banyak yang beristirah­at sejenak. Juga ada yang membantu jamaah haji lainnya. Selain itu, di tengah perjalanan bertepatan dengan azan Subuh. Beberapa petugas salat Subuh di tembok ”rest area” di setiap tikungan pendakian.

Lebar tembok itu tidak sampai setengah meter. Harus hati-hati soal di atas tembok itu. Sebab, di bawahnya adalah dinding gunung yang curam. Beberapa jamaah haji dari luar negeri juga menyempatk­an salat Subuh di tempat peristirah­atan tersebut.

Sesampai di atas Jabal Nur, jamaah tidak lantas langsung ketemu dengan Gua Hira. Setelah sampai puncak, peziarah harus turun lagi untuk menuju ke Gua Hira. Tantangann­ya adalah jalur dari puncak gunung sampai ke gua tempat Rasulullah biasa berkhalwat itu tidak mulus. Hanya separo yang berupa anak tangga. Sisanya batu. Peziarah harus hati-hati untuk memilih batu mana yang pas sebagai pijakan. Jangan sampai terpeleset. Karena sisinya sudah jurang.

Ketika sudah sampai di Gua Hira, ternyata kondisinya cukup padat. Antreannya lumayan panjang. Padahal, kapasitas gua hanya cukup untuk salat dua sampai tiga orang. Tidak ada petugas resmi dari pemerintah Arab Saudi yang mengatur lalu lintas orang yang masuk ke gua dan yang keluar. Seolah ada yang mengatur, jamaah selalu bisa tertib beribadah di sana.

Setelah sampai ke mulut gua dan kembali ke puncak gunung, aksesnya cukup sulit. Pilihannya dua. Salah satunya, mengambil rute yang sama dengan saat menuju ke Gua Hira, tetapi harus naik ke batu-batu yang tinggi. Saat menuju Gua Hira mudah karena tinggal lompat turun. Namun, untuk naik kembali susah.

Karena itu, akses yang sering digunakan adalah menyelinap di sebuah gua yang sempit. Badan harus miring untuk bisa menyelinap di celah-celah bebatuan. Jalannya harus hati-hati supaya kaki tidak terjepit di antara batu yang seukuran mobil Avanza.

Ketika mendaki turun, matahari sudah terang bersinar. Di tengah perjalanan, kawanan kera atau monyet gurun terlihat berkeliara­n. Mereka dengan lincah naik dan turun gunung dari batu-batu yang terjal. Sejumlah jamaah melemparka­n roti serta buah-buahan ke monyet yang khas dengan bokong merahnya itu.

Hampir sama dengan di Jabal Rahmah, banyak ditemukan coretan vandalisme di batu-batu Jabal Nur. Dari sejumlah nama yang tertulis, khas Indonesia. Bahkan, ada yang menuliskan nama keluarga secara komplet beserta asalnya.

Kepala Daerah Kerja Makkah Subhan Cholid mengingatk­an jamaah haji atau umrah asal Indonesia agar bisa ikut menjaga kebersihan. Termasuk tidak mencoret-coret di bebatuan gunung. Dia mengatakan, pemerintah Arab Saudi memberikan peringatan di akses masuk. Namun, tulisannya menggunaka­n bahasa Arab dan Inggris. ”Karena bahasa Arab, mungkin dikira itu adalah doa. Padahal, peringatan untuk menjaga kebersihan,” tuturnya.

Subhan tidak mengetahui betul alasan orang-orang menulis nama-nama pada situssitus bersejarah itu. Tidak hanya di Jabal Nur. Tetapi juga di Jabal Rahmah, Jabal Tsur, dan di Hudaibiyah. ”Misalnya di Jabal Rahmah ada tulisan Rahmat love Sarinem atau sejenisnya,” katanya. Kalaupun maksudnya supaya nama yang ditulis itu bisa berkunjung ke Makkah, cukup didoakan dalam hati saja.

Ahli filologi (ilmu yang mempelajar­i manuskrip kuno) dari UIN Syarif Hidayatull­ah Prof Oman Fathurrahm­an pagi itu ikut bergabung mendaki Jabal Nur. Pria yang juga menjadi staf ahli menteri agama dan pengendali ibadah Panitia Penyelengg­ara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi itu ikut menapaki jalur pendakian sampai ke puncak gunung.

Dia menjelaska­n, dalam sejarah Islam, Rasulullah menerima wahyu pertama di Gua Hira. Yakni, surah Al Alaq ayat 1–5. Wahyu tersebut disampaika­n langsung oleh Malaikat Jibril dan saat itu Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Ada beberapa versi terkait tanggal turunnya wahyu pertama itu. Di antaranya, ada yang menyebutka­n pada 21 Ramadan atau 10 Agustus 610 Masehi.

Oman menuturkan, Nabi Muhammad menerima wahyu setelah melakukan khalwat (kontemplas­i) untuk mendapatka­n pencerahan. Dia menjelaska­n, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dalam napak tilas atau ziarah ke Gua Hira itu.

Salah satunya adalah pelajaran spiritual. Yakni, untuk mendapatka­n ketenangan dan pencerahan, dibutuhkan kesucian diri, hati, serta perjuangan. ”Pada masa Rasul tentu perjuangan sampai ke puncak sini lebih berat medannya,” katanya.

Pelajaran berikutnya adalah aspek kemanusiaa­n. Oman mengatakan, dari puncak Jabal Nur terlihat penjuru Kota Makkah.

Bisa dibayangka­n saat itu Nabi Muhammad melihat masyarakat Makkah secara langsung. Masyarakat Makkah yang saat itu digambarka­n jahiliah dan perlu mendapat pencerahan. Dari puncak Jabal Nur, menurut Oman, Nabi Muhammad saat itu tentu memiliki misi untuk mencerahka­n masyarakat Makkah dengan ajaran atau wahyu yang diterimany­a.

Kemudian, dalam fenomena turunnya wahyu pertama di Gua Hira, juga ada pelajaran tentang peran seorang perempuan. Oman mengatakan, saat itu Nabi Muhammad mendapatka­n bantuan dari Khadijah. Dia memberikan kenyamanan ketika Nabi Muhammad berada di atas gunung.

”Ketika gelisah setelah mendapatka­n wahyu, Rasul diselimuti oleh Siti Khadijah. Diberikan kenyamanan,” katanya. Saat diselimuti itulah, Rasul kembali menerima wahyu kedua. Cerita itu memiliki makna bahwa ada peran perempuan di dalam penyebaran ajaran Islam yang damai. Sampai berabad-abad kemudian, perempuan masih ikut berperan dalam penyebaran agama Islam.

 ?? HILMI SETIAWAN/JAWA POS ?? ISI WAKTU SEBELUM PULANG: Para peziarah antre masuk ke Gua Hira yang berada di puncak Jabal Nur (foto atas). Wartawan Jawa Pos berada di mulut Gua Hira.
HILMI SETIAWAN/JAWA POS ISI WAKTU SEBELUM PULANG: Para peziarah antre masuk ke Gua Hira yang berada di puncak Jabal Nur (foto atas). Wartawan Jawa Pos berada di mulut Gua Hira.
 ?? HILMI SETIAWAN/JAWA POS ??
HILMI SETIAWAN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia