Lahan Jangan Terlalu Luas, Contohlah Washington
SAYA ingin berkomentar soal rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Tapi bukan sebagai gubernur Jawa Barat. Melainkan sebagai dosen perkotaan. Tentunya berdasar pengalaman saya J
Saya memang belum melihat detail rencana yang disiapkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun, berdasar informasi yang disampaikan ke publik, ibu kota baru didesain dengan luas lahan mencapai 180 ribu hektare. Dari asumsi tersebut, saya menilai desain itu terlalu luas. Imbasnya, akan menghasilkan kota yang juga luas. Sehingga berpotensi besar terbukanya penggunaan mobil.
Padahal, di masa depan, kota yang futuristis adalah kota yang aksesnya ramah bagi pejalan kaki. Perumahan dengan kantor, sekolah, dan fasilitas publik lainnya harus berdekatan. Kalaupun kepepet, barulah menggunakan transportasi publik (public transport). Opsi penggunaan mobil adalah yang terakhir.
Nah, dengan luas kota mencapai 180 ribu hektare, jalan kaki atau transportasi publik relatif sulit diimplementasikan. Sebab, jarak antartempat akan jauh. Imbasnya, naik mobil menjadi opsi yang berpotensi banyak digunakan.
Sebagai gambaran, pemerintah pusat perlu melihat pengalaman negara-negara lain saat mendesain ibu kota barunya. Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Amerika Serikat dengan Washington DC-nya merupakan yang terbaik. Sudah teruji berdasar teori ilmiah. Itu ibu kota terbaik.
Di sana banyak orang yang berjalan kaki. Dan yang tak kalah penting, kotanya hidup. Setelah sore hari perkantoran tutup, suasana kota masih ramai. Itu karena semua berdekatan. Berbeda dengan ibu kota-ibu kota baru di berbagai negara yang justru sepi saat malam. Kenapa? Karena terlalu luas. Jarak perumahan dengan fasilitas umum berjauhan. Padahal, hidup di kota bukan hanya urusan kerja. Ada juga percampuran kegiatan antarmanusia.
Dari kesuksesan Washington, ada baiknya Indonesia mencontoh. Jadi, ibu kota baru cukup 17 ribu hektare. Atau maksimal 30 ribu hektare. Tidak perlu sampai 180 ribu hektare.
Sebagai anak bangsa, saya ingin cita-cita yang luar biasa itu berhasil. Jangan seperti apa yang dilakukan Brasil dengan Brasilianya. Yang dicap para pihak seperti Harvard atau New York Times sebagai ibu kota baru yang gagal.
Jangan sampai Indonesia seperti itu. Jadi, pemerintah harus menyiapkan secara matang. Perbanyak menampung masukan dari masyarakat. Karena semua orang berkepentingan. Dan saat saya bertemu Presiden Joko Widodo, beliau sangat senang mendapat masukan. Disarikan dari wawancara dengan Folly Akbar