Ibu Kota Bersifat Fleksibel dan Tidak Absolut
Pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Kaltim menimbulkan polemik. Pemicunya, sampai sekarang pemerintah belum mengajukan RUU sebagai pengganti UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Bagaimana meliha
Umar Wirahadi dengan pakar hukum tata negara Muhammad Rullyandi.
Jawa Pos
Tanpa UU sebagai payung hukum, DPR menilai pemindahan IKN adalah ilegal. Pandangan Anda?
Sampai sekarang, ibu kota negara belum pindah. Tetap di DKI Jakarta. UU Nomor 29 Tahun 2007 pun tetap berlaku. Status IKN secara otomatis berubah setelah DPR mengesahkan UU baru pengganti UU Nomor 29 Tahun 2007. Cepat atau lambat, pemerintah pasti akan mengajukan RUU tersebut ke DPR untuk dibahas. Pemerintah kan bilang, saat ini regulasi itu disusun.
Penolakan pemindahan ibu kota bermunculan. Apakah ibu kota tidak bisa dipindah?
Begini. Dalam UUD 1945, ibu kota negara disebut di dua pasal. Yaitu, pasal 2 dan pasal 23 huruf G UUD 1945. Ibu kota negara merujuk pada tempat aktivitas lembaga negara. Jadi, ibu kota identik dengan pusat-pusat lembaga tinggi negara dan pusat pemerintahan. Dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara spesifik bahwa Jakarta harus menjadi ibu kota negara. Jakarta memang identik dengan daerah-daerah yang bersifat khusus.
Dalam pasal 18 huruf D disebutkan, NKRI menghormati dan mengakui keberadaan daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Salah satunya, DKI Jakarta. Jakarta ini bersifat administratif. Tidak ada pemilihan wali kota yang bersifat otonom. Tidak ada pilkada langsung yang memilih wali kota dan DPRD kota.
Kekhususan tersebut bagian dari identiknya Jakarta. Artinya, status Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota (DKI) bersifat fleksibel dan tidak absolut. Pemilihan Jakarta sebagai ibu kota negara lebih disebabkan faktor historis proklamasi dan penyebaran ideologi Pancasila. Ketentuan Jakarta sebagai ibu kota negara hanya diatur dalam pasal 3 UU Nomor 29 Tahun 2007.
ALIHALIH memberikan pemahaman yang mencerahkan, artikel Redi Panuju berjudul Sastra dan Film Kiri yang Naik Daun (28/8) justru berpotensi memicu atau bahkan memelihara kesalahpahaman masyarakat pada Bumi Manusia (BM)
khususnya dan sejarah sastra serta film Indonesia umumnya. Setidaknya ada empat hal dari artikel tersebut yang patut diuji argumentasinya.
Pertama, tidak ada definisi yang jelas tentang istilah ”kiri” dalam tulisan itu. Redi menggunakan istilah tersebut secara apriori seolah yang ”kiri” semata merujuk pada Marxisme. ”Ruang hukum dan politik yang sudah permisif terhadap ajaran Marxisme,” tulis Redi, ”menjadi angin segar bagi transformasi sastra kiri ke film.”
Secara historis, ”kiri” merujuk pada era Revolusi Prancis (1789–1799) di mana posisi tempat duduk kelompok yang menentang kekuasaan monarki berada di sebelah kiri ruangan. Dalam perkembangannya, semangat menggugat segala sesuatu yang dianggap ”absolut”, semisal konstruksi gender, kultur patriarki, feodalisme, institusionalisasi tafsir, dan nasionalisme, juga berkorelasi dengan ”kiri”. Artinya, ”kiri” sebagai suatu terminologi politik dan juga praktik diskursif dalam tahap-tahap tertentu bisa beririsan juga dengan liberalisme, feminisme, kapitalisme, dan nasionalisme. Maka, memahami ”kiri” semata berasosiasi dengan Marxisme adalah tindakan yang simplistis dan reduktif.
Kedua, lack of definition tersebut membuat perspektif Redi dalam menilai novel dan film BM menjadi bias dan kacau antara penggunaan istilah kiri dan Marxisme. Apabila dicermati,
BM sama sekali tidak membahas atau merepresentasikan tema-tema, katakanlah demikian, Marxisme.
Misalnya tema perjuangan kelas, subjek-kolektif, dan revolusi. Dalam versi novel, lebih lagi filmnya, yang dijumpai dalam BM justru kisah para borjuis Jawa yang ditunjukkan dengan upaya Minke sebagai seorang raden mas memperjuangkan cintanya; serta Ontosoroh, pengusaha sukses yang memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan ibu. Alih-alih komunal atau atas nama ”kelas” atau ”bangsa”-nya, konflik-konflik subjek dalam BM bersifat individual, bukan kolektif. Pergulatan Minke untuk mendapatkan Annelis, serta Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya, adalah pergulatan personal, bukan komunal.
Jadi, di mana letak Marxisme novel
BM? Tidak ada saya kira. Maka, pernyataan Redi bahwa film BM telah menandai permisifnya pemerintah terhadap Marxisme tidak relevan karena memang ideologi tersebut tidak pernah ada dalam teks novel
BM. Lalu apakah bisa dianggap ”kiri”? Jika cerita tentang seorang kekasih yang ingin mempertahankan hubungannya, juga seorang ibu yang mempertahankan hak atas anaknya, dilabeli ”kiri”, tidak terbilang berapa banyak sastra dan film kita yang kemudian layak dilabeli sastra dan film ”kiri”.
Ketiga, ”sastra kiri” tidak sama dengan ”sastra kontekstual” seperti dikatakan Redi seraya mengutip Ariel
Apa saja yang tidak bisa diubah?
Bentuk negara. Yakni, NKRI. Bukan negara serikat atau federal. Selain itu, bentuk pemerintahan adalah republik. Bukan monarki atau sistem kerajaan. Sistem pemerintahan kita adalah presidensial. Kita harus mempertahankan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan.
Perlukah meminta pendapat publik terkait dengan pemindahan ibu kota?
Tidak ada dasar hukum untuk melakukan referendum. Bahkan menyalahi UU itu sendiri. Persoalan ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Referendum hanya bisa dilakukan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang setuju atau tidaknya terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.
Tanggapan terhadap Tulisan Redi Panuju yang Dimuat Jawa Pos 28 Agustus 2019
Heryanto. Dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) dan artikel
Masihkah Politik Jadi Panglima: Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir (1988) Ariel menulis, sembari melanjutkan penjelasan tentang konsep ”sastra kontekstual”, terdapat empat jenis sastra di Indonesia. Yakni (1) sastra yang diresmikan, yaitu yang sesuai dengan ”visi” negara, (2) sastra terlarang, semisal tetralogi Bumi Manusia, (3) sastra yang diremehkan,
misalnya cerita silat dan sastra stensilan, serta (4) sastra yang dipisahkan,
semisal sastra berbahasa daerah. Sastra ”kiri”, dengan demikian, tidak dikenal, melainkan sastra yang ”dilarang” oleh rezim saat itu.
Keempat, ada anakronisme fatal saat Redi mengatakan bahwa inisiator Manifes Kebudayaan adalah Lekra dan Pramoedya. Manifes Kebudayaan dan Lekra justru saling serang dan berpolemik sengit melalui gagasan sejak 1950-an dan memuncak di awal tahun 1960-an. Manifes Kebudayaan yang dirilis pada 1963 menyerukan kebebasan individu dalam menyuarakan humanisme universal dalam filsafat modernisme. Sementara Lekra telah lama berpandangan bahwa seni dan sastra haruslah berpihak pada kepentingan kelas proletar yang bermuara pada pembentukan kesadaran dan praktik revolusi.
Manifes Kebudayaan lantas dibubarkan Soekarno pada 1964 karena dianggap tidak sejalan dengan semangat revolusi kemerdekaan Indonesia. Sampai di tahap ini, jelaslah pemberian label tertentu, katakanlah ”kiri”, pada karya seni (termasuk sastra dan film) sungguh memiliki konsekuensi pertanggungjawaban yang kompleks, baik secara akademis maupun secara sosiokultural.
Transformasi BM dari novel ke film memang menjadi fenomena menarik justru bila ia ditafsir dari sudut pandang sosiokulturalnya. Masyarakat Indonesia, harus diakui, belum sepenuhnya bebas dari beban masa lalu. Narasi peristiwa 30 September 1965, reformasi 1998, dan masih menguatnya politik identitas SARA akhir-akhir ini menjadi penanda betapa beban masa lalu itu senantiasa bisa terbangun atau dibangunkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu pula.
Dalam situasi demikian, hal utama yang diperlukan adalah kemampuan menafsirkan dan juga meredam diri sehingga kita tidak mudah melabeli sesuatu/seseorang yang justru bisa menjerumuskan kita pada pemahaman dan tindakan yang tidak sesuai. Seturut kata Pramoedya, ”Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” *) Dosen di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya kesalahan pada tulisan opini yang berjudul Pada tulisan tersebut terdapat kalimat,
Yang benar, Manifesto Kebudayaan yang dimotori Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, dan beberapa seniman lain hadir sebagai antitesis Lekra.
Demikian ralat terhadap tulisan tersebut. (*)