Jawa Pos

Stres karena Jadi Full Time Mom

-

MENJADI ibu rumah tangga bukan hal mudah. Itulah yang tidak pernah diduga Apriska Afiolita Derrydamaw­ati. Sejak hamil, dia yakin bakal jadi ibu rumah tangga full time. ’’Idealis pokoknya. Jaga sendiri, tanpa baby sitter atau apa-apa,’’ tuturnya.

Ketika anaknya lahir pada April 2018 hingga berusia 6 bulan, Apriska tidak pernah merasakan kesulitan apa pun. ’’Lancar banget. Anak juga sehat, nggak ada masalah sulit ASI dan lainnya,’’ ungkap perempuan asli Surabaya tersebut. Sayangnya, hal itu tidak berlangsun­g lama.

Setelah sang anak membutuhka­n makanan pendamping ASI (MPASI), tantangan mulai muncul. Apriska mulai merasa tidak punya waktu untuk diri sendiri. Setiap dua jam sekali dia harus menyuapi anaknya. Di sela-selanya, dia tetap harus mengurus rumah dan menyiapkan makanan. ’’Bahkan, potong rambut saja aku sampai nggak punya waktu,’’ ucap alumnus Universita­s Brawijaya tersebut.

Memasuki Desember 2018, Apriska mulai coba-coba ambil pekerjaan. ’’Pada hari H, aku pisah sama anakku sampai 12 jam dan kok rasanya lega ya?’’ tambahnya. Meski begitu, Apriska terus-menerus merasa bersalah jika menitipkan anaknya untuk bekerja. Dia kembali fokus mengurus rumah. Anak pertama dari tiga bersaudara itu sehari-harinya tetap menghabisk­an waktu di rumah. Namun, keputusan tersebut malah membuat Apriska burnout. ’’Januari 2019 benar-benar down,’’ ucapnya singkat.

Setiap hari Apriska pasti menangis. Terutama setelah menidurkan anaknya. ’’Rasanya lelah sekali. Aku cuma mau istirahat, eh kelar nangis, anak sudah bangun lagi,’’ ungkapnya. Siklus itu seakan tidak ada hentinya. Apriska mulai malas makan hingga berat badannya turun dari 47 kg menjadi 42 kg. Dia juga mulai pendiam dan malas bicara dengan suami atau ibu serta adik-adiknya meski tinggal serumah.

Setiap melihat anaknya, rasa bersalah justru muncul. Dia pun semakin tertekan. ’’Sampai pas itu rambutku rontok. Padahal hanya dibelai biasa, tapi bisa sekepal yang rontok,’’ ucapnya, kemudian menggeleng­kan kepala.

Dia kemudian mulai berbagi dengan anggota komunitas yang diikuti. Komunitas pencinta makanan itu memang banyak diisi working mom. Salah satunya seorang dokter spesialis anak. Dia juga berbincang dengan salah satu kawannya yang bekerja sebagai psikolog praktik. Ruparupany­a, yang dia alami disebut burnout.

Apriska mulai membuka perbincang­an dengan sang suami. Saat itu suaminya membebaska­nnya. Jika ingin bekerja, ya tidak masalah. Suaminya bilang, do what makes you happy. ’’Mungkin, karena aku nggak bisa diam dulunya, jadi saat di rumah terus jadi stres,’’ ucap perempuan 26 tahun itu.

Rezeki memang tidak ke mana. Dia tiba-tiba dapat tawaran branding & marketing di bidang food and beverage. Sesuatu yang dicintai sejak lama. Setelah berpikir keras selama dua minggu, Apriska memutuskan mengambil pekerjaan tersebut. Dalam waktu seminggu, Apriska membagi waktu kapan bekerja di luar untuk meeting dan me time serta kapan bekerja di rumah.

Menurut Apriska, burnout pada ibu bisa terjadi karena faktor yang berbeda-beda. Solusinya pun berbeda-beda. Mungkin, untuk Apriska, kembali bekerja dan membayar baby sitter bisa jadi solusi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia