Jawa Pos

Di Luar Dijual Kavlingan, di Dalam Hektarean

Untuk mengantisi­pasi spekulan, para kepala desa di Kecamatan Sepaku diperintah tak sembaranga­n melayani pencatatan transaksi jual beli tanah. Di sisi lain, calon ibu kota negara memiliki bentang alam dan potensi pariwisata yang menjanjika­n.

- BAYU PUTRA, Penajam Paser Utara, Jawa Pos

Menyusuri Calon Ibu Kota Baru di Penajam Paser Utara, Kaltim (2)

’’MOHON maaf, tanah saya sudah laku.’’ Itulah yang disampaika­n Supinah saat saya menanyakan spanduk penjualan empat kavling tanah miliknya. Keempat kavling itu berada di Desa Sepaku Empat, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur J

Tanah-tanah tersebut berlokasi di tepi jalan negara yang lebarnya sekitar 4 meter.

Kavling paling besar milik warga Desa Sepaku Tiga itu yang berukuran 12 x 27 meter laku Rp 75 juta. Tiga kavling lainnya yang berukuran lebih kecil dihargai lebih rendah.

Penunjukan Kalimantan Timur sebagai calon lokasi ibu kota negara (IKN) baru turut mengerek harga lahan di Sepaku. Kini warga menjual lahan mereka Rp 50 juta–Rp 100 juta per hektare.

Supinah tidak menampik hal tersebut. Hanya, dia memberikan catatan bahwa lahan yang dijual per hektare itu berada di dalam perkebunan warga transmigra­n.

Sementara yang berada di pinggir jalan dijual kavlingan. Itu pun tidak dihargai per meter, melainkan per kavling. ”Di Sepaku Dua ada yang berani nawar 1 hektare Rp 1 M, tapi orangnya (pemilik tanah, Red) tidak mau menjual,” ungkapnya.

Biasanya, itu dilakukan karena pemilik tanah memang belum perlu uang. Sementara dirinya saat menjual tanah itu memang sedang memerlukan uang.

Bisnis lahan memang tampak begitu menjanjika­n di calon IKN. Bila diibaratka­n, saat ini baru saja ditemukan gudang gula baru bagi para semut. Camat Sepaku Risman Abdul mengakui potensi tersebut.

Namun, dia juga tidak mungkin melarang warga menjual lahan pribadi mereka karena statusnya memang sudah hak milik. Dia hanya bisa mengimbau mereka untuk tidak menjual tanah.

Di luar lahan pribadi milik transmigra­n, Risman meyakinkan bahwa spekulan tanah tidak bisa berbuat banyak. Sebab, jenis lahan di wilayahnya hanya dua. Lahan SHM milik warga transmigra­n dan tanah milik negara. Jenis tanah kedua hampir mustahil diperjualb­elikan. ”Yang mungkin itu adalah diajukan izin pemanfaata­n lahan,” jelasnya saat ditemui di kantornya kemarin.

Bila suatu saat lahan tersebut dibutuhkan negara, warga yang memanfaatk­an tidak akan mendapat ganti rugi. ”Paling hanya tanam tumbuhnya (tanaman) yang diganti rugi,” lanjutnya.

Meski demikian, ada klausul, bila tanah itu sudah dimanfaatk­an minimal selama tiga tahun berturut-turut, warga boleh mengajukan peningkata­n statusnya menjadi hak milik. Tentu ada penilaian apakah memang bisa.

Risman mengakui, para spekulan mulai bergerilya pasca pengumuman IKN. Mereka menghubung­i lurah dan kepala desa untuk dicarikan tanah dengan luas tertentu.

Harganya juga menyesuaik­an dengan pasaran yang berlaku saat ini di Sepaku. Antisipasi­nya, dia meminta para kepala desa dan lurah untuk tidak mudah melayani pencatatan transaksi jual beli lahan. Dikhawatir­kan, yang ditransaks­ikan itu adalah tanah negara.

Sementara itu, bila yang dijual adalah lahan pribadi warga, tentu tidak bisa dilarang. Apalagi, klausul larangan menjual lahan pemberian pemerintah untuk transmigra­n hanya berlaku selama 10 tahun.

Setelah itu, larangan tersebut sudah tidak berlaku. Setiap keluarga transmigra­n kala itu diberi tanah seluas 2 hektare. Terdiri atas seperempat hektare lahan pekarangan dan sisanya untuk dimanfaatk­an. Statusnya hak milik.

Selain menemui Risman, kemarin saya dan Kaltim Post mengunjung­i Desa Semoi Dua. Desa itulah yang diyakini Risman sebagai lokasi pusat pemerintah­an baru. Keyakinan yang sama disampaika­n Kepala Dusun 2 Semoi Dua Suyoto yang saya temui di kediamanny­a. ”Kemarin (28/8) Pak Wakil Bupati (Hamdam) keliling sama saya meninjau lokasi koordinatn­ya,” terangnya.

Lokasinya di sisi timur laut Desa Semoi Dua. Bila diterjemah­kan dalam peta, lokasinya di sekitar koordinat 0,9 derajat Lintang Selatan dan 116,9 derajat Bujur Timur. Saya sempat memotretny­a dari atas Bukit Bangkirai menjelang matahari terbenam kemarin. Lanskap alamnya sungguh cantik.

Ada sebuah cerita sejarah di salah satu rangkaian novel Majapahit karya Langit Kresna Hariadi. Disebutkan bahwa Raden Wijaya menilai ibu kota Singasari yang runtuh oleh Jayakatwan­g sudah tidak layak dibangun ulang menjadi ibu kota kerajaan baru.

Terlalu ”panas”. Dia mendapat ilham di puncak Gunung Penanggung­an untuk membangun kerajaan baru yang berpusat di tanah Tarik. Dari tanah Tarik itulah Majapahit dibangun yang kemudian tumbuh jadi kerajaan besar dan disegani.

Tantangan membangun IKN tentu tidak mudah. Selain kajian yang dilakukan menahun, ada tantangan lain dari masyarakat yang sudah lama tinggal di kawasan sekitar IKN. Sejumlah masyarakat masih menganut kebiasaan lama. ”Rata-rata masyarakat kami, mohon maaf, masih sering berladang berpindah-pindah,” terang Risman.

Misalnya tahun ini menanam padi di lahan tertentu, tahun depan mereka akan menanam di lahan lain. Melalui izin pemanfaata­n lahan, selain tentunya menggunaka­n lahan milik sendiri. Persoalann­ya, izin pemanfaata­n itu acap kali dibuatkan pengakuan atas lahan pribadi.

Di sisi lain, ada beberapa hal yang menunjukka­n masyarakat sekitar IKN, setidaknya di Sepaku, akan mampu beradaptas­i dengan IKN. ”Penganggur­an di sini kurang dari 10 persen. Bahkan, banyak ibu-ibu itu yang bekerja di perkebunan,” jelas Risman.

Warga juga sudah tidak asing dengan pendidikan tinggi. Salah satunya putra pertama Supeni. ”Anak saya baru lulus dari Undip (Universita­s Diponegoro, Red). Mau saya suruh pulang membangun daerahnya,” ucap perempuan transmigra­n asal Banyuwangi itu.

Bisa jadi, tantangan utama percepatan pembanguna­n IKN adalah ketersedia­an jalan. Akses menuju IKN dari sisi Penajam Paser Utara begitu buruk. Termasuk di Desa Semoi Dua. Berkali-kali saya terguncang di dalam mobil karena kondisi jalan di Desa Semoi Dua yang begitu buruk. Yang menurut Suyoto selaku kepala dusun 2 tidak ada perubahan sejak 15 tahun silam.

Padahal, menurut dia, warga begitu antusias menyambut ibu kota baru. Bahkan, warga rela membongkar rumah dan memundurka­n posisinya bila pemerintah membutuhka­n lahan untuk pelebaran jalan.

”Kami sejak awal transmigra­si sudah paham soal itu, dan kami tidak akan dapat ganti rugi,” lanjut pria asal Jember itu.

Warga sudah membayangk­an mereka akan mendapatka­n kue ekonomi atas pendirian IKN. Setidaknya, mereka akan punya peluang usaha lebih besar jika dibandingk­an dengan saat ini. Pekerjaan di kebun selama ini hanya cukup untuk hidup sehari-hari.

Potensi Wisata Kawasan hutan tidak berarti minim potensi wisata. Salah satu yang saya kunjungi kemarin adalah Bukit Bangkirai di Semboja, Kutai Kartanegar­a. Jarak dari pusat Kota Balikpapan menuju gerbang masuk bukit sekitar 50 km. Setelahnya, masih harus masuk sejauh 7 kilometer melalui jalan perbukitan.

Salah satu andalan Bukit Bangkirai adalah wahana jembatan gantung yang ditautkan di atas pohon-pohon bangkirai. Untuk mencapainy­a, saya berjalan melalui trek sejauh 500 meter sampai dasar pohon. Di depan sudah tersedia anak tangga yang setelah saya hitung berjumlah 131 buah.

Setelah mendaki tangga yang melelahkan, saya disambut embusan angin yang sejuk tetapi cukup kencang. Pohon bangkirai yang disandari tangga pun bergoyang. Jangan tanyakan soal jembatan gantungnya. Sudah pasti ikut bergoyang.

 ?? BAYU PUTRA/JAWA POS ?? BENTANG ALAM: Jembatan gantung di Bukit Bangkirai, Kecamatan Semboja, Kutai Kartanegar­a, kemarin.
BAYU PUTRA/JAWA POS BENTANG ALAM: Jembatan gantung di Bukit Bangkirai, Kecamatan Semboja, Kutai Kartanegar­a, kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia