Jawa Pos

Momentum Koreksi Kekuasaan

- Oleh HARIS AZHAR Aktivis; pendiri Lokataru Foundation

DALAM berbagai konteks, kita sering bergurau dengan menggunaka­n istilah ”monyet” atau nama binatang lainnya kepada orang yang kita kenal

J

Namun, dalam konteks tertentu, penggunaan tersebut menjadi berbeda. Konteks di atas jika dialamatka­n kepada seseorang atau sekumpulan orang yang dikecewaka­n, terlebih lagi dalam kurun waktu yang panjang, bisa berwujud kekerasan dan menampilka­n watak pelaku, rasis!

Rasisme yang terjadi pada saudara-saudara kita dari Papua di Surabaya beberapa waktu lalu adalah bentuk konkret dari gambaran di atas. Peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di tanah Jawa justru menunjukka­n fakta lain dari yang selama ini ada. Bahwa kita melihat berbeda saudara-saudara kita yang berasal dari Papua. Dengan mudahnya sebagian dari kita melontarka­n kata ”monyet”.

Pernyataan monyet tersebut keluar dengan mudah karena para pelaku meyakini bahwa patahnya tiang bendera dan runtuhnya Sang Merah Putih sebagai ulah dari mahasiswa Papua. Tanpa mengecek fakta siapa yang membuatnya rusak.

Gambaran itu menyulut luas amuk, amarah, rusuh, dan operasi keamanan serta berbagai boikot seperti blocking internet. Ternyata, respons dari peristiwa rasisme itu menunjukka­n keberulang­an sikap negara yang gagal memahami derita panjang Papua.

Peristiwa rasisme Surabaya hanya sulut ledak dari cara pandang dan oleh karena itu salah cara memperlaku­kan Papua. Bukan mencari pelaku rasisme, negara buru-buru menutup akses internet. Menutup akses informasi, tapi tidak menghadirk­an integritas untuk memberikan informasi adalah pekerjaan memperburu­k suasana.

Selain itu, langkah negara melakukan tindakan standar seperti mengirim pasukan adalah hal yang sering terjadi. Itu berujung derita pada banyak warga di perkampung­an akibat kekerasan aparat. Presiden pun hanya bisa berucap Mace-Pace bla bla bla...

Masalah Papua adalah masalah yang luas, dalam, dan telah berlangsun­g lama. Sepatutnya negara mengambil momentum ini. Hadir dan bekerja serta menunjukka­n integritas­nya. Ada sejumlah hal yang bisa dilakukan. Pertama, presiden langsung memimpin upaya perdamaian hari-hari ini di tengah amuk massa dengan cara intensif bertemu serta bergumul mencari bahasa, cara, dan aksi bersama para pemimpin Papua. Jika presiden bisa berkampany­e saat pemilu, kenapa saat genting malah kabur?

Kedua, ke depan presiden harus tegas memimpin satu pendekatan baru. Yaitu, audit masalah bisnis dan keamanan di Papua. Kemiskinan, penderitaa­n, dan pelanggara­n HAM di Papua jelas merupakan akibat dari praktik bisnis di Papua. Praktik bisnis di Papua menyedot hasrat perampokan dan rebutan kenikmatan di Papua. Berbagai pengaruh dan manuver terjadi. Tidak hanya dalam skala lokal, tapi juga nasional hingga internasio­nal. Praktik bisnis di Papua harus diaudit dan disusun yang berbasis pada strategi pemulihan, partisipat­if, dan local oriented.

Ketiga, presiden dan pemerintah pusat harus menunjukka­n upaya serius memerangi diskrimina­si. Tidak sekadar mencari siapa pengumpat ”monyet”, tetapi juga memerangi diskrimina­si dalam berbagai hal. Terutama dalam soal penegakan hukum.

Untuk itu, negara ini jangan membuat malu dirinya dengan tampil seolah sebagai penjajah bagi orang Papua, lalu sebagai petugas keamanan bagi para investor. Kalau kita punya hukum, gunakan secara adil dan baik. Ini waktu yang tepat untuk koreksi kekuasaan.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia