Jadi Depresi dan Takut Bertemu Aparat
Polisi seharusnya mengayomi. Tapi, selama aksi di Hongkong, mereka justru mempermalukan para demonstran perempuan. Berbagai tindak pelecehan dilakukan dan membuat demonstran berang.
LIU menutup sekujur tubuhnya rapat-rapat. Memakai jaket, topi, masker dan kacamata serbahitam, dia jelas tak mau dikenali. Dia masih merasa luar biasa malu. Liu adalah salah seorang demonstran perempuan korban pelecehan seksual polisi Hongkong.
Jumat (23/8) dia memaparkan dengan detail perlakuan tidak senonoh yang diterimanya selama ditahan kepada para jurnalis. Liu mengikuti aksi beberapa pekan lalu dan menjadi salah seorang demonstran yang ditahan. Setelah ditahan, dia dilarikan ke rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya.
Saat Liu keluar rumah sakit, petugas kepolisian mengecek baju yang dikirimkan orang tuanya. Mereka juga tidak keluar ruangan saat dia ganti baju.
Liu merasa malu, tapi masih bisa menahannya. Dari rumah sakit, seharusnya dia dibawa ke pengadilan. Tapi, polisi membawanya ke kantor polisi terdekat. Dia dimasukkan dalam salah satu ruangan dengan dua polisi perempuan. Liu diminta membuka seluruh bajunya, termasuk pakaian dalamnya.
’’Mereka berkata, karena melanggar hukum, saya harus diperiksa tanpa busana,’’ ujarnya seperti dikutip Hong Kong Free Press.
Dua polwan itu memeriksa tubuhnya tanpa sarung tangan seperti yang seharusnya. Liu berusaha menutupi area kemaluannya, tapi tangannya dipukul dengan pulpen. Pulpen yang sama dipakai untuk membuat kakinya terbuka lebar hingga kemaluannya terekspos oleh polwan yang jongkok di depannya. ’’Saat saya membalik badan, saya melihat polwan satunya menatap saya dengan senang,’’ terang Liu.
Begitu selesai, dia berpakaian dan keluar ruangan. Begitu membuka pintu, ada lebih dari sepuluh polisi lelaki yang menatapnya. Dia malu luar biasa, tapi tak mau menangis. Setelah kejadian itu, dia menjadi depresi, takut keluar dan takut bertemu polisi. Pihak kepolisian sempat menyatakan bahwa penggeledahan yang tejadi kepada Liu sudah sesuai dengan prosedur.
Pengacara Liu, Benson Chan, menegaskan bahwa penggeledahan seharusnya dilakukan sebelum masuk rumah sakit. Kasus yang menjerat Liu juga bukan kepemilikan narkoba dan senjata berbahaya. Jadi, yang dilakukan polisi dianggap tak wajar. ’’Kesimpulannya adalah itu pelecehan,’’ tegasnya.
Liu bukan satu-satunya demonstran yang mengalami pelecehan. Dalam berbagai video yang beredar, tampak polisi laki-laki bersikap kasar kepada demonstran perempuan. Saat tertangkap, tangan dan kaki demonstran diangkat sehingga rok mereka tersingkap dan terlihat pakaian dalam mereka.
’’Saya bilang kepada mereka (polisi, Red) bahwa saya memakai rok, biarkan saya jalan kaki saja. Tapi, mereka pura-pura tidak mendengar,’’ ujar salah seorang korban. Polisi bahkan menyebutnya sebagai pelacur.
Tak terima, sekitar 30 ribu orang turun ke jalan Rabu (28/8). Kali ini bukan menuntut Chief Executive Hongkong Carrie Lam mundur. Melainkan menuntut agar polisi tidak melecehkan perempuan. Dalam beberapa banner, massa menuliskan tagar #MeToo. Itu adalah tagar kampanye anti pelecehan kepada perempuan. Massa menulis tagar tersebut dan #ProtestToo di tangan dengan menggunakan lipstik.
Massa berkumpul di Charter Garden saat hari beranjak malam. Aksi yang diprakarsai Women’s Coalition on Equal Opportunities (WOCEO) itu mengusung slogan Hentikan Kekerasan Seksual yang Dilakukan Polisi. Massa memakai pita ungu dan melapisi telepon genggam mereka dengan gel ungu pula. Saat hari mulai malam, lautan sinar ungu memenuhi Charter Garden. Ungu adalah warna resmi Hari Perempuan Internasional. Warna tersebut juga dipakai The Purple Campaign, lembaga nonprofit yang memiliki misi mengakhiri pelecehan seksual.
Jubir WOCEO Linda Wong meminta semua korban pelecehan polisi untuk keluar dengan penuh keberanian, mengajukan gugatan serta mencari pertolongan. ’’Kita tidak seharusnya diintimidasi dengan kekerasan seksual agar diam,’’ tegas Linda.