Penundaan Brexit Hadapi Tentangan
LONDON, Jawa Pos – Penundaan sesi parlemen Inggris masih menjadi topik terpanas di Britania Raya saat ini. Langkah kubu Perdana Menteri Boris Johnson mendapat tentangan dari berbagai arah. Termasuk rekanan satu partai yang beda prinsip.
Kemarin (29/8) Ruth Davidson mengumumkan pengunduran diri dari jabatan ketua Partai Konservatif Negara Bagian Skotlandia. Alasan utamanya keluar dari partai politik tertua di Inggris tersebut adalah anaknya yang sudah hampir berumur setahun. Pasangan Jen Wilson itu tak ingin lagi melewatkan perkembangan si jabang bayi. ’’Datangnya putra saya di keluarga berarti prioritas saya juga berubah. Saya tak mau lagi berada jauh dari keluarga selama selama berjam-jam,’’ ungkapnya kepada The Guardian.
Namun, dia juga tidak menyangkal bahwa perdebatan Brexit adalah salah satu faktor. Selama ini Davidson terkenal sebagai politikus Konservatif yang tak setuju dengan pendekatan Brexit yang keras. Saat referendum, dia memilih agar Inggris tetap menjadi anggota Eropa. Karena itu, Davidson naik pitam saat Johnson mengumumkan rencana persiapan no-deal Brexit. Kemarahannya memuncak ketika Johnson menunda sesi parlemen selama lima pekan. ’’Kepada perdana menteri, buatlah kesepakatan dengan Uni Eropa,’’ kata perempuan 40 tahun tersebut.
Beberapa tahun terakhir, pengunduran diri petinggi partai di Inggris bukan lagi hal asing. Pejabat yang meletakkan jabatan mereka pada era Theresa May sudah tak bisa dihitung dengan jari. Johnson juga sudah beberapa kali menerima surat permohonan resign.
Namun, Davidson berbeda. Dia adalah tokoh daerah yang punya pengaruh besar di wilayahwilayah perbatasan. Dia berhasil merebut hati penduduk Skotlandia dari partai lokal Scottish National Party (SNP). Sebelumnya, Partai Konservatif tak pernah menjadi favorit warga perbatasan utara Britania Raya. ’’Saya selalu percaya kita bisa menang sebagai Konservatif,’’ ujar Davidson saat diwawancarai
Agence France-Presse dalam kampanye Pemilu 2017.
Banyak yang memprediksi Davidson bisa menjadi Boris Johnson kedua: oposisi keras yang berhasil menjegal petahana. Tahun lalu Johnson meletakkan jabatan menteri luar negeri ketika tak setuju dengan keputusan Theresa May. Setahun kemudian, dia menjadi PM.
Tahun ini Davidson meletakkan jabatannya setelah berkali-kali mengkritisi Johnson. Mungkin saja tahun depan alumnus Edinburgh University itu menjegal pria berambut pirang tersebut. Apalagi, tanpa Davidson, basis dukungan Konservatif di Skotlandia diprediksi menghilang. ’’Saat ini rasa hormat adalah hal yang hilang dari dunia politik,’’ tegas Davidson.
Tentangan kepada Johnson datang bertubi-tubi. Ribuan warga memenuhi pusat London, Manchester, Edinburgh, dan kota-kota lainnya untuk memprotes pembekuan parlemen yang sudah disetujui Ratu Elizabeth II. Petisi daring yang menginginkan pemerintah membatalkan keputusan itu sudah memperoleh 1 juta tanda tangan.
Kemudian, dua gugatan hukum juga telah diumumkan. Gugatan pertama datang dari SNP. Jubir SNP Joanna Cherry menyatakan bahwa tim kuasa hukum partai sudah meminta jadwal sidang dengan Pengadilan Tinggi Skotlandia. Gugatan kedua dilayangkan taipan Gina Miller. Tokoh anti-Brexit tersebut telah meminta judicial review darurat kepada pengadilan. Namun, semua tentangan itu belum membuat kubu Johnson gentar. Pemimpin Majelis Rendah Jacob Rees-Mogg menganggap remeh protes dalam 24 jam terakhir. Pria yang juga bertanggung jawab untuk urusan Ratu Elizabeth II itu menganggap protes hanya dilakukan kubu anti-Brexit. Bukan semua rakyat Inggris.
Pada Rabu (28/8), kabinet Johnson menghentikan aktivitas parlemen mulai 10 September sampai 14 Oktober. Langkah tersebut dinilai beberapa tokoh politik sebagai taktik untuk memangkas waktu debat Brexit. Sebab, penundaan itu bakal menghilangkan 23 hari kerja begitu saja. (bil/c14/dos)