Warga Butuh Air dan Jalan yang Tidak Sekadar Ada
Jumlah penduduk Penajam Paser Utara (PPU) kalah banyak bila dibandingkan dengan sebuah kecamatan di Surabaya. Padahal, wilayahnya seluas gabungan Jakarta serta Kabupaten dan Kota Bogor. Masalah masih banyak, tapi potensi juga besar. Menyusuri Calon Ibu Ko
UNTUK menuju PPU dari Balikpapan, ada dua cara. Lewat perjalanan darat dan laut.
Jarak antara Balikpapan dan Penajam, ibu kota kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Paser itu, sekitar 150 kilometer. Melintasi Samboja di Kutai Kartanegara dan Sepaku yang masuk wilayah PPU, dua kecamatan yang jadi calon IKN (ibu kota negara). Memutari Teluk Balikpapan
Melalui jalan provinsi yang kondisinya seperti yang saya gambarkan di edisi pertama. Begitu menyedihkan.
Cara kedua adalah yang saya lakukan kemarin (30/8). Lewat jalur laut, menyeberangi Teluk Balikpapan. Ada tiga pilihan moda transportasi. Kapal feri, dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Tiketnya Rp 12.400 untuk dewasa dan Rp 7.600 untuk anak-anak.
Kemudian kapal kelotok. Sebuah kapal penumpang berukuran kecil. Namun, bisa muat belasan penumpang dan beberapa sepeda motor.
Satu penumpang harus membayar Rp 11 ribu. Sementara, bila dia membawa motornya juga, tiketnya menjadi Rp 37 ribu. Waktu tempuhnya 20–30 menit.
Saya memilih moda ketiga. Speedboat. Seperti yang biasa disewakan di Telaga Sarangan, Magetan, Jawa Timur. Penumpangnya maksimal 5–7 orang. Paling mahal ongkosnya Rp 20 ribu per orang. Saya ditawari membayar Rp 100 ribu untuk diangkut sendirian. Saya memilih bareng dengan penumpang lain.
Speedboat paling mahal karena seperti namanya, ia melaju kencang di atas air. Kemarin pagi laut masih cukup tenang. Karena lajunya yang cepat, tak urung kami terlonjak-lonjak.
Seperti naik mobil off-road yang melompati satu tanjakan ke tanjakan lainnya. Suara tabrakan antara ujung speedboat dan permukaan air laut pun terdengar berulangulang. Seperti suara mobil yang menabrak tembok. Kami sampai di PPU dalam waktu tidak lebih dari tujuh menit.
Apa yang saya lihat begitu masuk ke PPU via laut sempat membuat takjub. Kondisinya begitu berbeda dengan Kecamatan Sepaku yang bakal menjadi lokasi IKN.
Jalanan begitu mulus, dengan setiap sisi memiliki dua lajur. Dipisahkan separator. Di depan kantor bupati malah masing-masing tiga lajur yang terbilang mulus. Sungguh berbeda dengan perjalanan saya ke Sepaku yang penuh perjuangan karena buruknya kondisi jalan.
Namun, sebagian besar kemulusan itu hanya ada di jalan-jalan utama. Salah satu ruas jalan di kompleks pemerintahan PPU masih berupa jalan berbatu. Jalanan yang ada di sejumlah kampung yang saya lalui juga tak beraspal utuh. Sebagian beraspal, sebagiannya lagi tidak.
Di jalur utama dan beberapa perkampungan, saya mendapati rumah-rumah warga tidak berdempetan seperti di kota-kota besar. Lahan masih cukup luas. Sebagian warga membangun rumah semipermanen dengan dinding berbahan kayu, sebagiannya lagi membangun tembok bata.
Beberapa angkutan umum terlihat ngetem di tepi jalan. Tidak banyak yang terlihat berlalu lalang. Juga, beberapa ojek pangkalan. ’’Pakai Jamride saja. Itu ojek online lokal,’’ tutur Muhammad Zainuddin, salah seorang warga pesisir PPU yang saya temui kemarin.
Saya mendapatinya di Google Play dan mengunduhnya. Fitur layanannya mirip dengan dua ojol yang sedang bersaing di level nasional itu. Hanya, saya tidak mendapati driver-nya berseragam.
’’Sudah lima bulan Jamride beroperasi,’’ tutur Hermansyah, driver yang mengantar saya ke Pasar Petung.
Menurut dia, sudah ada sekitar 90 mitra yang bergabung dengan Jamride. Rata-rata dalam sehari bisa mendapatkan 6–10 trip.
Di Pasar Petung, salah satu pasar terbesar di PPU, saya menemui salah seorang pedagang. Sunarsih namanya. Dia sedang mempreteli bawang merah saat saya mengajaknya bicara. Begitu tahu saya dari Jawa Timur, perempuan asal Kediri itu semringah.
Dari Sunarsih, saya mengetahui bahwa kebutuhan warga PPU tidak seluruhnya bisa disediakan mandiri. ’’Brambang (bawang merah) dan bawang (putih) itu didatangkan dari Jawa,’’ tuturnya seraya menambahkan kalau cabai dan beras didatangkan dari Sulawesi Selatan.
Lahan pertanian memang ada di PPU, tapi belum mampu memenuhi permintaan. ’’Karena di sini sawahnya masih banyak yang tadah hujan,’’ lanjut perempuan 54 tahun itu.
Air memang menjadi satu persoalan yang dikeluhkan Sunarsih. Air PDAM hanya menjangkau kawasan ibu kota kabupaten dan sekitarnya. Semakin ke dalam, terlebih kawasan perkebunan, tidak ada air PDAM.
Sunarsih menggunakan sumur bor untuk mendapatkan air. ’’Tapi, warnanya kuning. Harus dibiarkan satu malam, baru agak mendingan,’’ tuturnya
Lain halnya dengan Zainuddin. Sebagai warga pesisir, yang paling diharapkan para tetangganya adalah alat tangkap ikan. ’’Alat tangkap itu ya jala hingga kapal,’’ tuturnya. Sementara itu, para petani menginginkan bantuan bibit dan pupuk.
Dalam hal infrastruktur, aspirasi Zainuddin sama halnya dengan Camat Sepaku Risman Abdul dan Kepala Dusun 2, Desa Semoi Dua, Suyoto. Yang paling utama adalah jalan yang tidak sekadar ada, tetapi berkualitas baik. Zainuddin mengungkapkan, jalur menuju IKN dari ibu kota kabupaten PPU perlu perbaikan total.
Penduduk PPU tidaklah banyak. Berdasar data yang dihimpun Kaltim Post, penduduk PPU berjumlah 168.012 jiwa. Lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Kecamatan Sawahan di Surabaya yang berkisar 202 ribu jiwa. Sementara itu, luas wilayahnya mencapai 3.333 kilometer persegi. Hampir seluas gabungan wilayah Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor.
Pertumbuhan ekonomi PPU hanya 1,24 persen. Persentase penduduk miskinnya 7,4 persen dan indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 71,13. Jarak dari Sepaku menuju Balikpapan relatif lebih pendek (76 km) daripada ke ibu kota kabupaten PPU (80 km).
Asisten 2 Ekonomi Pemkab PPU Ahmad Usman mengakui, geliat ekonomi warga memang banyak ditunjang belanja APBD. APBD PPU tahun ini nyaris menyentuh angka Rp 1,6 triliun. Sebagian lagi ditunjang aktivitas perkebunan yang mempekerjakan banyak warga. Juga, sektor usaha lain dari warga seperti pertanian dan perikanan.
Berbeda dengan Sunarsih, Usman mengatakan bahwa sektor pertanian di PPU tidak bisa dipandang sebelah mata. ’’Kami adalah salah satu pendukung swasembada pangan untuk wilayah Kalimantan Timur, khususnya padi atau beras,’’ terang dia saat dikonfirmasi kemarin.
PPU, lanjut Usman, sudah memiliki dinas yang membawahkan semua perizinan dalam satu atap. ’’Perizinan (usaha) biasanya hanya hitungan hari, bergantung usaha dan persyaratan yang disiapkan teman-teman pengusaha,’’ lanjutnya.
Menjelang petang, saya kembali ke Balikpapan. Lagi-lagi menggunakan speedboat
kecil untuk menyeberangi teluk. Kali ini penumpang hanya tiga orang. Tidak seperti pagi hari, saat sore laut makin beriak. Gelombang setinggi 1 meter mengiringi perjalanan kami. Speedboat makin sering terlonjak-lonjak.
Beberapa menit melaju, tiba-tiba terjadi insiden yang tak kami harapkan. Speedboat
mogok di tengah perairan. Sang pengemudi speedboat berupaya menghidupkannya kembali, tapi gagal.
Hampir 10 menit kami terombang-ambing di laut dengan gelombangnya yang menghantam sisi-sisi speedboat. Sampai akhirnya salah seorang pengemudi lain datang dan memindahkan kami ke speedboat-nya. Lalu, mengantar kami sampai ke tujuan.