Perlu Perbaikan Struktur Tarif Cukai
SURABAYA, Jawa Pos – Sejumlah kalangan menilai perlunya perbaikan peraturan dalam struktur tarif cukai. Sebab, potensi kehilangan penerimaan negara dari pajak penghasilan rokok cukup besar. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Tauhid Ahmad menyatakan, potensi kehilangan tersebut mencapai Rp 1,73 triliun. ’’Struktur cukai saat ini belum mengakomodasi persaingan yang berkeadilan. Bahkan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan,’’ ujarnya kemarin (30/8).
Potensi kehilangan itu dihitung dari pajak penghasilan rokok yang dijual 85 persen di bawah harga jual eceran (HJE) Rp 467 miliar. Juga, pajak penghasilan dari kebijakan harga transaksi pasar (HTP) 85–100 persen terhadap HJE Rp 1,26 triliun.
Sementara itu, Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menuturkan, untuk mencegah kebocoran penerimaan cukai dari industri hasil tembakau (IHT), pemerintah perlu menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ’’KPK bisa merekomendasikan agar kebijakannya dicabut atau direvisi atau mungkin merekomendasikan dibuat kebijakan baru. Eksekusinya tetap di pemerintah dengan melibatkan partisipasi semua pihak,’’ tuturnya.
Penerimaan negara dari cukai tembakau tiap tahun terus mengalami peningkatan. Pada 2015 sebesar Rp139,5 triliun. Kemudian, pada 2016, meningkat menjadi Rp141,7 triliun, 2017 naik menjadi Rp149,9 triliun, dan menembus Rp 153 triliun pada 2018. Target pada 2019 sebesar Rp 171,9 triliun.
’’Pemerintah harus menerapkan peraturan secara konsisten. Salah satunya, menghapus berbagai area abu-abu yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu,’’ ungkapnya. Kecurangan tersebut, misalnya, terkait dengan permainan pabrikan rokok dalam hal struktur tarif cukai.
Kebijakan sistem tarif cukai rokok menjadi polemik beberapa bulan terakhir. Saat ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggodok kebijakan itu. Yang mencuat adalah terkait dengan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Kalau itu diterapkan, dinilai bisa dimanfaatkan pabrikan besar asing agar membayar tarif cukai rokok lebih murah.
Sebelumnya, pada 2017, pemerintah melakukan penggabungan batas produksi SKM dan SPM melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017. Namun, regulasi tersebut batal sejalan dengan pemberlakuan PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. KPK sendiri pernah mendapatkan apresiasi yang sangat positif ketika memberikan rekomendasi kepada presiden terkait rokok. Pada Februari 2019, komisi antirasuah itu mengirimkan rekomendasi agar pemerintah mencabut insentif fiskal terhadap rokok di kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ).
JAKARTA, Jawa Pos – Untuk memacu investasi migas, pemerintah kembali memberikan insentif fiskal. Kali ini kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) berhak mendapatkan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). KKKS juga bisa mendapatkan pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas kegiatan usaha hulu migas pada tahap eksplorasi dan eksploitasi.
Pada tahap eksplorasi, fasilitas yang diberikan meliputi pembebasan PPN/PPnBM terutang atas pembelian barang dan jasa yang digunakan untuk operasi perminyakan. Selain itu, fasilitas pengurangan diberikan 100 persen dari PBB migas terutang yang tercantum dalam surat pemberitahuan pajak terutang. Sementara itu, pada tahap eksploitasi, pemerintah juga memberikan fasilitas serupa.
Namun, untuk PBB migas, kontraktor hanya mendapatkan pengurangan PBB atas tubuh bumi. Paling tinggi 100 persen. Insentif fiskal pada tahap eksploitasi itu diberikan untuk kontraktor yang tidak dapat mencapai internal rate of return (IRR). Serta, memiliki wilayah kerja dengan kriteria tertentu. Misalnya, berlokasi di laut dalam atau kontraktor yang melakukan pengembangan lapangan migas nonkonvensional.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, insentif perpajakan juga diberikan dalam bentuk pengecualian pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama oleh kontraktor. Syaratnya, biaya operasi fasilitas bersama tersebut digunakan dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas. Penyerahan jasa yang timbul juga tidak dikenakan PPN.
”Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung dari kantor pusat kontraktor yang memenuhi sejumlah syarat tertentu, juga bukan merupakan objek pemotongan PPh dan PPN,” kata Yoga kemarin. Dia memaparkan, berbagai insentif fiskal itu diberikan untuk meningkatkan investasi hulu migas serta penemuan cadangan migas. Insentif-insentif tersebut termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 122/ PMK 03/2019.
Direktur Eksekutif IPA (Indonesian Petroleum Association) Marjolijn Wajong sangat mengapresiasi diterbitkannya aturan yang memberikan kepastian pajak parent company overhead (PCO) and facility/cost sharing yang sudah lama ditunggu. “Aturan ini juga memberikan kepastian pemberian fasilitas pajak PPN dan PBB untuk masa eksplorasi dan eksploitasi,” imbuhnya.
Pemerintah memang gencar untuk menarik investor ke industri hulu migas dengan berbagai upaya guna mendongkrak produksi migas nasional. Dalam tiga tahun terakhir, ada 17 blok migas berskema gross split yang diminati investor selama pelelangan. Kementerian ESDM menilai hal tersebut merupakan keberhasilan atas keberanian pemerintah dalam mengeksekusi skema fiskal baru dalam berinvestasi di sektor migas.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi memerinci, keseluruhan blok yang diminati investor adalah WK Andaman I, Andaman II, Merak Lampung, Pekawai, dan West Yamdena dari hasil lelang 2017.
INFO DESA