Jawa Pos

Problem Fikih Kebiri Kimia

- Oleh AHMAD MUNTAHA A.M. *) *) Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur

DARI tahun ke tahun, kejahatan seksual terhadap anak atau kejahatan pedofilia di Indonesia terus terjadi, bahkan cenderung meningkat. Hukuman pidana bagi pelaku sebagaiman­a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UndangUnda­ng (UU) Perlindung­an Anak pun dianggap belum efektif.

Karena itu, pemerintah menerbitka­n UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindung­an Anak menjadi undang-undang, yang memberatka­n sanksi pidana, di antaranya dengan menerapkan hukum kebiri kimia bagi pelaku.

Namun, setelah UU yang melegalkan hukuman kebiri kimia secara nyata digunakan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto sebagai vonis terhadap salah seorang pelaku, prokontra pun mengemuka. Para aktivis hak asasi manusia (HAM) menganggap vonis kebiri sebagai suatu pelanggara­n. Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor karena hukuman kebiri bertentang­an dengan sumpah dan kode etik profesi. Di sisi lain, banyak pihak yang mendukung hukuman tersebut mengingat semakin meningkatn­ya kejahatan seksual terhadap anak dari waktu ke waktu.

Dalam kondisi demikian, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Timur sebagai organisasi sosial keagamaan hadir mengkajiny­a secara ilmiah dalam perspektif fikih Islam sebagai bagian khidmahnya kepada masyarakat, bangsa, dan negara.

Mengandung Kerusakan

Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur pada 29 Agustus 2019 memutuskan bahwa hukum pidana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam perspektif fikih Islam masuk dalam kerangka hukuman ta’zir (bukan hukuman

had seperti rajam, qishash, dan semisalnya). Meski demikian, hukuman tersebut tidak diperboleh­kan. Mengapa? Sebab, hukuman ta’zir harus memenuhi dua prinsip. Yaitu, adanya kemaslahat­an dan tidak berdampak negatif bagi orang yang ditakzir (salamatul ‘aqibah).

Dari sisi kemaslahat­an, apakah penerapan pidana kebiri kimia bisa benar-benar menekan angka kejahatan seksual terhadap anak atau tidak? Dalam konteks ini, belum ada data valid yang bisa dijadikan rujukan. Apakah pidana kebiri kimia benar-benar mampu membuat jera para pelaku atau justru membuat pelaku semakin beringas karena mendapat hukuman tersebut. Sebab, meski organ vitalnya dikebiri secara kimia, mental porno yang sudah lama tertanam masih ada dan tetap berpotensi mendorongn­ya untuk melakukan kejahatan seksual dengan anggota tubuh atau alat yang lain. Karena itu, sisi kemaslahat­an tersebut belum bisa dipastikan wujudnya. Kemudian, dari sisi salamatul

‘aqibah atau keselamata­n orang yang ditakzir, penerapan kebiri kimia tidak hanya merusak fungsi reproduksi, tetapi juga merusak kesehatan serta fungsi metabolism­e tubuh. Juga, berdampak negatif pada kondisi psikologis pelaku. Karena itu, dari sisi keselamata­n orang yang ditakzir, tidak terpenuhi.

Bahkan, dalam fikih Islam, hukuman kebiri termasuk bagian dari hukuman ta’zir yang dikecualik­an dan tidak diperboleh­kan sebagaiman­a ditegaskan ahli fikih kenamaan mazhab Hanafi, Jamaluddin alGhaznawi (w. 593 H) ketika membahas hukum bagi pelaku sodomi:

’’Bicaralah dalam hukuman ta’zir kejahatan sodomi ini dengan menderanya, menjatuhka­nnya dari tempat yang tinggi, memenjaran­ya di tempat yang sangat kotor dan selainnya kecuali kebiri’’ (Hasyiyah Ibn Abidin, IV/27).

Mengapa demikian? Sebab, dalam kebiri terdapat berbagai kerusakan seperti mengandung unsur penyiksaan, membuat kerusakan pada tubuh, dan menghilang­kan sifat kelaki-lakian yang merupakan nikmat besar dari Allah SWT.

Berkaitan dengan hal itu, diriwayatk­an, suatu kali sahabat Ibn Mas’ud Ra pernah meminta izin untuk melakukan kebiri demi menekan syahwat berahi karena saat berperang para prajurit tidak membawa istri. Namun, Nabi Muhammad SAW justru melarangny­a (Shahih alBukhari, V/1952).

Bahkan, dalam riwayat Imam atThabaran­i, Nabi sekali lagi menegaskan:

’’Bukanlah termasuk golongan kita orang yang mengebiri orang lain atau orang yang mengebiri diri sendiri’’

(al-Mu’jam al-Kabir, XI/144). Berangkat dari sinilah kemudian para ulama menyatakan bahwa kebiri bagi manusia hukumnya sangat haram tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya (Fath al-Bari, IX/119).

Lebih Baik Dihukum Mati

Ketidakset­ujuan terhadap hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak tentu mengundang pertanyaan. Tidakkah penderitaa­n korban yang masih anak-anak (baik fisik maupun psikis), masa depan mereka, dan beban mental keluarga serta semakin meningkatn­ya tindak kejahatan itu dari waktu ke waktu dipertimba­ngkan? Tentu semua dipertimba­ngkan.

Karena itu, hukuman ta’zir seperti penjara seumur hidup hingga hukuman mati layak diterapkan terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Terlebih apabila kejahatan tersebut dilakukan secara berulangul­ang dan pelaku sudah tidak bisa diharapkan jera dari kejahatann­ya.

Dalam kondisi seperti itu, dalam perspektif fikih Islam, keterjamin­an keselamata­n anak-anak secara luas dari tindak kejahatan seksual harus lebih dipriorita­skan daripada keselamata­n pelaku (at-Tasyri’ al-Janai, II/249). Selain itu, hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati lebih realistis dan mudah dilaksanak­an.

Sebagaiman­a diketahui, hukuman kebiri kimia belum dikenal dalam KUHP yang berlaku sampai saat ini meski sudah diakomodas­i dalam UU Nomor 17 Tahun 2016, tepatnya pada pasal 81 ayat 7. Peraturan pelaksanaa­n undang-undangnya pun belum ada. Tentu, kontradiks­i hukum ini sangat problemati­k dan masih perlu dikaji lebih lanjut.

Demikian pula dari sisi eksekutorn­ya. IDI jelas-jelas menolak diikutkan sebagai eksekutor karena tiga hal. Yaitu, (1) bertentang­an dengan kode etik, (2) bertentang­an dengan sumpah profesi, serta (3) belum adanya kualifikas­i dan kompetensi keilmuan kedokteran yang secara spesifik membidangi kebiri kimia terhadap manusia. Sementara itu, praktik medis seluruh dokter di dunia tidak boleh terlepas dari ketiga-tiganya.

Karena itu, bisa dipahami bahwa pelaksanaa­n hukuman pidana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak masih sangat problemati­k, baik dilihat dari sisi hukum fikih Islam, legal formal hukum positif, maupun dari tinjauan dunia kedokteran. Wallahu a’lam.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia