Ancam Rektor yang Izinkan Demo, Menristekdikti Tuai Kritik
DEMONSTRASI mahasiswa yang meluas di berbagai daerah membuat pemerintah gerah. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M. Nasir meminta para rektor mencegah mahasiswa kembali turun ke jalan. Jika gagal, dia mengancam akan memberikan sanksi
Nasir menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Jakarta kemarin (26/9). Presiden memerintah Nasir untuk mengajak mahasiswa mengedepankan dialog. ”Arahannya adalah jangan sampai kita menggerakkan massa, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Sanksi bagi rektor bergantung pada kondisinya. Jika terbukti melakukan pengerahan, sanksinya akan keras. ”Sanksi keras ada dua, bisa SP (surat peringatan) pertama, SP kedua. Kalau sampai menyebabkan kerugian pada negara dan sebagainya, ini bisa tindakan hukum,” imbuhnya.
Dia beralasan, aksi demonstrasi mahasiswa bukan cara yang tepat. Sebab, dikhawatirkan ada kelompok lain yang memanfaatkan. Menurut Nasir, tuntutan mahasiswa sudah diakomodasi DPR melalui beberapa pertemuan. ”Jangan sampai ada para penunggang gelap,” ujar mantan rektor Universitas Diponegoro itu.
Hari ini Nasir dijadwalkan mengisi kuliah umum di Universitas Negeri Semarang. Dalam kesempatan itu, menteri berusia 59 tahun tersebut sekaligus akan mengajak mahasiswa berdialog. Membahas dan menjelaskan RUU yang menjadi kontroversi di masyarakat. Nasir tidak menutup kemungkinan akan melakukan road show ke kampus-kampus.
Pernyataan Menristekdikti tersebut menuai kritik. Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Basuki Wasis yang mewakili Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia menegaskan bahwa mahasiswa dan akademisi di kampus memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Kemudian, tradisi berpikir kritis merupakan upaya pengembangan pengetahuan ilmu dan teknologi. Ancaman sanksi yang disampaikan Menristekdikti, kata dia, bertentangan dengan PrinsipPrinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademis yang digagas pada 2017. ”Mendesak kepada Presiden Jokowi dan Menristekdikti untuk meminta maaf,” katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga menilai kebijakan tersebut tak hanya tidak tepat, tapi juga inkonstitusional. ”Ini tindakan melanggar hukum UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum,” ujarnya.
Menurut Asfin, kebijakan tersebut akan menambah rentetan kesalahan sikap pemerintah dalam merespons aksi mahasiswa. Sebelumnya, negara justru menanggapi aksi demo mahasiswa dengan kekerasan, pengejaran, dan penangkapan. ”Bahkan, ada yang sedang makan saja ditangkap,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan cara-cara Orde Baru untuk membungkam suara mahasiswa dengan menjatuhkan sanksi kepada rektor. Sebab, itu adalah cermin kemunduran dalam berdemokrasi. ”Jika Menristekdikti menekan mahasiswa melalui rektor, itu sudah keliru. Menteri berlaku otoriter.”