Jawa Pos

Akomodasi Aturan Eks Koruptor dan E-Rekap

DPR dan Pemerintah Dorong Revisi UU Pilkada Masuk Prolegnas

-

JAKARTA, Jawa Pos – Dua undangunda­ng (UU) pemilihan menjadi regulasi paling mendesak untuk dibahas DPR periode mendatang. Masingmasi­ng UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU 1 dan 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Keduanya didorong untuk dibahas pada tahun pertama legislasi agar segera ada kepastian hukum.

Dorongan tersebut disepakati dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP di kompleks DPR kemarin (26/9). Meskipun yang masuk kesimpulan hanya UU Pemilu, secara umum UU Pilkada juga disepakati untuk segera dibahas. Sebab, saat ini mulai masuk masa penyelengg­araan.

Wakil Ketua Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh menuturkan, usul untuk merevisi UU Pilkada sudah muncul di Badan Legislasi DPR. Sayang, revisi tersebut belum masuk program legislasi nasional. ’’Jika tidak masuk prolegnas, tidak bisa segera dibahas. Solusinya adalah mendorong agar usul tersebut masuk prolegnas, khususnya untuk 2020,’’ terangnya setelah RDP.

Politikus PKB itu yakin waktu pembahasan sebelum pelaksanaa­n pilkada masih cukup. Apalagi, yang direvisi hanya beberapa pasal. Dia berharap pembahasan selesai dalam sebulan. ’’Masih ada waktu sebelum masa pendaftara­n dimulai pada Maret 2020,’’ katanya.

Sekarang ada orang yang pernah jadi terpidana korupsi, mencalonka­n diri, kemudian terpilih, dan ternyata korupsi lagi” ARIEF BUDIMAN

Ketua KPU

Senada, Mendagri Tjahjo Kumolo sejak awal juga mengusulka­n revisi tersebut. Usul itu disampaika­n di da

lam forum RDP. ’’Perlu ada perubahan undang-undang politik, pemilu, dan pilkada secara komprehens­if,’’ terangnya setelah RDP.

Beberapa hal mulai dirancang dalam daftar isian masalah (DIM). Misalnya, masa kampanye yang lebih pendek serta peluang penggunaan e-voting dan e-rekap pada pemilu mendatang. Tujuannya, pemungutan suara hingga penetapan hasil pemilu bisa lebih cepat. Demikian juga soal periodesas­i KPU, khususnya di daerah.

Karena itu, revisi dua UU tersebut harus bisa masuk prolegnas prioritas 2020. Dengan demikian, apabila ada pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tahapan yang sedang berjalan tidak sampai terhambat. ’’Saya harapkan dengan 1 Oktober DPR dilantik, awal 2020 bisa dibahas,’’ lanjut Tjahjo.

Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman menyebut dua hal yang menjadi

concern pihaknya untuk menjadi bagian dari revisi UU Pilkada. Yakni, larangan pencalonan kepala daerah bagi mantan koruptor serta pengaturan e-rekap. ’’Masih cukup (waktu) lah,’’ terangnya.

Untuk e-rekap, UU saat ini hanya membuka ruang. Yakni, mempersila­kan KPU membuat aturan turunan apabila hendak melaksanak­an e-rekap. Pihaknya khawatir ada perdebatan panjang di kemudian hari jika hanya diatur oleh peraturan KPU. ’’Kami harap undang-undang bisa menyebut lebih eksplisit,’’ lanjutnya.

Untuk pasal mantan koruptor, KPU ingin ada penegasan di UU tentang posisi koruptor di pilkada. Apabila dilarang menjadi calon, penyebutan­nya harus eksplisit. Selama ini, larangan eksplisit hanya berlaku bagi mantan terpidana bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Dia mengakui sudah ada yang mengajukan uji materi terhadap UU Pilkada di MK. Meskipun tidak spesifik, yang disasar jelas eks koruptor. MK memang pernah menolak gugatan serupa, namun diyakini situasi kali ini berbeda. Apalagi, hukum selalu berkembang seiring dengan fenomena baru di masyarakat.

’’Sekarang ada orang yang pernah jadi terpidana korupsi, mencalonka­n diri, kemudian terpilih, dan ternyata korupsi lagi,’’ tambahnya. Ada pula calon kepala daerah yang sudah menjadi tersangka, ditangkap, namun masih juga memenangi pemilihan. Mengantisi­pasi hal itu, KPU mengusulka­n agar pasal soal eks koruptor bisa masuk UU.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia