Jawa Pos

Udara Sehat Hak Asasi Semua Orang

-

’’Inhale the future, exhale the past’’.

SANGAT disayangka­n, sudah lebih dari sebulan angkasa di sebagian besar wilayah Indonesia tercemari asap dan debu akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Fenomena itu terjadi hampir setiap musim kemarau panjang, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Entah disebabkan lahan gambut yang terbakar atau pembakaran yang disengaja untuk pembukaan lahan. Rasanya belum lega napas kita akibat buruknya kualitas udara Jakarta dan kota-kota lainnya dan kini permasalah­an udara langit Indonesia makin menyesakka­n dengan bencana asap karhutla. Memang, hutan terbakar tidak hanya di Indonesia. Bahkan, beberapa waktu lalu juga terjadi kebakaran di hutan Amazon, Brasil. Namun, di Indonesia, krisis hutan terbakar tampaknya berulang tiap tahun tanpa pernah ditangani serius, baik oleh pihak lokal maupun pemerintah pusat.

Polutan dari karhutla akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Pembakaran tak sempurna menghasilk­an berbagai gas dan partikel berbahaya. Paru-paru dan saluran pernapasan merupakan salah satu organ yang langsung merasakan dampak dari pajanan zat toksik seperti gas karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), zat iritan seperti formaldehy­de dan benzene serta partikel tak kasatmata yang mampu mencapai bagian kecil paru/ alveolus dan tersebar sistemik ke seluruh tubuh lewat pembuluh darah.

Dalam jangka pendek, dampak asap dan debu karhutla dapat menimbulka­n iritasi ringan hingga infeksi saluran pernapasan. Anakanak dan orang tua menjadi kelompok masyarakat yang sangat rentan karena sistem kekebalan tubuh mereka belum sempurna dan menurun. Pasien anak asma akan lebih mudah sakit dan eksaserbas­i/kumat karena terpicu polutan dan asap. Begitu juga fungsi paru-paru para manula akan menurun hingga memicu sesak napas dan infeksi. Terlebih ibu hamil yang perlu dipastikan pasokan hawa segar demi tercapainy­a kesehatan kandungan dan terbentukn­ya organ-organ (organogene­sis) janin yang dikandungn­ya secara sempurna. Selain itu, pajanan berulang polutan-polutan dalam jangka panjang menjadi ancaman laten karena bersifat karsinogen­esis, yaitu bahan pemicu kanker paru-paru. WHO mencatat setidaknya tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi udara, salah satunya adalah asap karhutla.

Permasalah­an kesehatan sebagai akibat bencana alam dapat terjadi setiap saat tanpa ada peringatan. Meski demikian, kita bisa mengusahak­an persiapan untuk mengantisi­pasinya. Para ahli paru-paru merumuskan bahwa setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan dalam pencegahan dan penanganan dampak kesehatan akibat asap dan debu karhutla.

Mereduksi pajanan-pajanan asap karhutla merupakan upaya primer. Kelompok yang sensitif (anak-anak, orang tua, ibu hamil, kelompok masyarakat ekonomi lemah, dan pasien jantung dan paru-paru) merupakan prioritas utama yang perlu diutamakan karena mudah jatuh sakit. Strategi spesifik meminimalk­an pajanan asap dapat ditempuh dengan cara, antara lain, membatasi aktivitas berat dan lebih banyak kegiatan di dalam rumah, menggunaka­n air conditione­r secara bijak (mode recirculat­e), air purifier menggunaka­n masker proteksi yang proporsion­al (jenis N95) jika memang dibutuhkan. Yang perlu diperhatik­an adalah meminimalk­an polusi asap rokok dan pembakaran di dapur selama berada di dalam rumah. Sebuah ironi jika dalam ruang tertutup masih ada rokok yang menyala.

Pemerintah juga perlu menyiapkan cleaner air shelters, yakni fasilitas umum yang bisa dipergunak­an sementara untuk menghindar­i asap. Tempat ini harus memiliki fasilitas penyedia udara bersih.

Upaya lain yang bisa dilakukan adalah mengomunik­asikan tentang pentingnya pemantauan kualitas udara dengan metode standar. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementeria­n Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu merevisi standar yang dipakai saat ini, indeks standar pencemar udara (ISPU). Rentang penilaian ISPU yang lebih longgar menjadikan ’’kadar sehat’’ standar ini berbeda dengan standar global yang dipakai di seluruh dunia, yaitu air quality index (AQI).

Berikutnya adalah langkah sekunder yang bertujuan penanganan awal dan menyeluruh terhadap masalah kesehatan akibat pajanan asap. Diperlukan kesigapan dan koordinasi pelayanan kesehatan yang terpadu dalam evakuasi korban. Para petugas di daerah rawan bencana selayaknya mendapatka­n pengetahua­n lebih dalam deteksi dini korban serta mampu memberikan tatalaksan­a yang tepat dan cepat. Obat-obatan untuk pertolonga­n awal wajib tersedia di ambulans dan pusat layanan kesehatan.

Berkaca kepada kasus karhutla cukup besar pada 2015–2016 yang berujung pada putusan pengadilan bahwa presiden dan pejabat terkait telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kasus karhutla, maka langkah pemerintah menunda putusan pengadilan, dengan melakukan banding, terbukti sia-sia dan menghilang­kan kesempatan untuk memperbaik­i masalah tersebut. Berdirinya rumah sakit paru-paru di Kalimantan sebagai salah satu konsekuens­i putusan pengadilan Kalteng setidaknya akan menyelamat­kan banyak korban jiwa dalam kasus karhutla yang tahun ini kembali terjadi.

Mencegah dan meminimalk­an komplikasi menjadi usaha tersier yang perlu diupayakan. Sistem rujukan antarfasil­itas layanan kesehatan perlu ditingkatk­an. Kematian seorang balita yang diduga akibat asap karhutla di Palembang sepatutnya dijadikan pelajaran agar tidak terulang. Peran media massa sosial juga sangat efektif untuk meningkatk­an kewaspadaa­n dalam pencegahan dan antisipasi dampak karhutla.

Yang terakhir, sebagai perenungan bahwa bencana yang datang seharusnya memantik kita untuk melakukan persiapan dan perbaikan. Kebakaran hutan adalah salah satu krisis alam yang bisa diantisipa­si. Peringatan Hari Paru-Paru Sedunia bisa menjadi momentum perubahan. Dibutuhkan kesadaran semua pihak bahwa kesalahan mitigasi bencana asap karhutla masa lalu dan kini dapat diperbaiki demi terciptany­a alam semesta sehat; udara nan bersih untuk generasi penerus bangsa Indonesia.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia