Jawa Pos

Hilang Jejak setelah Rumah Kena Gusur Tol

Dua pelaku penyeranga­n Wiranto punya kesamaan: pribadi tertutup yang jarang bergaul. Bahkan di lingkungan keluarga terdekat.

-

DI daerah asalnya, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dikenal sebagai sosok yang pintar dan memiliki kemampuan berbahasa asing. Dia menamatkan pendidikan di SMA Negeri 3 Medan pada 1988. Lalu, lulus S-1 dari Universita­s Sumatera Utara (USU).

Namun, di balik sosok yang berpendidi­kan itu, pria yang akrab disapa Alam tersebut cenderung tertutup dan pendiam

Bahkan dengan keluarga dekatnya sendiri. Hal itu diketahui setelah polisi meminta keterangan kakak ipar Alam, Trisnawati, di rumahnya, Jalan Alfakah V, Lingkungan V, Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli.

Trisna mengaku tidak pernah berkomunik­asi dengan Alam. Adik iparnya tersebut juga tidak pernah berkunjung ke rumahnya. Bahkan, Alam tidak datang saat kakak kandungnya meninggal dunia.

”Alam anak nomor 8 dari 9 bersaudara. Selama ini saudara mereka tidak tahu, entah di mana semua. Yang jelas, saya sejak dia (Alam, Red) tinggal dekat sini sampai pindah tidak pernah ke rumah,” tutur Trisna sebagaiman­a dilaporkan Sumut Pos.

Saat tinggal di Tanjung Mulia Hilir, Alam juga jarang bergaul dengan masyarakat sekitar. Warga hanya tahu bahwa dia hanya rajin beribadah di musala dekat rumahnya. ”Saya tahu, dia sering kami panggil Alam. Sebelum rumahnya digusur kena pembebasan tol, dia sehari-hari main komputer. Tapi, dia jarang bergaul ke luar rumah,” kata Ani, warga sekitar.

Alam diketahui memiliki dua anak perempuan. Namun, dia bercerai dengan istrinya karena tidak memiliki pekerjaan tetap. ”Sebelum cerai dengan istrinya, sempat buka mesin judi dingdong. Pernah digerebek polisi. Setelah itu, kami lihat dia memilih untuk menekuni laptop dan komputer di rumah,” ungkapnya.

Setelah rumahnya terkena proyek tol pada 2017 dan mendapat ganti rugi, Alam pindah. Namun, warga tidak mengetahui tempat tinggal Alam selanjutny­a. ”Baru tahu kalau dia ternyata pelaku penikaman Wiranto. Yang jelas, selama ini Alam orangnya pendiam dan tertutup,” kata warga.

Selain ke rumah Trisna, Kemarin polisi mendatangi rumah kakak ipar Alam, Risma. Kapolsek Medan Labuhan AKP Edy Safari datang langsung untuk meminta keterangan terhadap Risma.

Rizaldi, kepala lingkungan setempat, membenarka­n bahwa Risma merupakan kakak ipar Syahrial Alamsyah. Suami Risma yang tidak lain abang kandung Alam sudah lama meninggal. ”Bu Risma tidak tahu keseharian Alam dan pindah ke mana,” katanya.

Di Pandeglang, pribadi Alam tidak berubah. Ketua RT 04, RW 05, Kampung Sawah, Desa Menes, Kecamatan Menes, Ahamd Sanusi menyebut keseharian Alam yang sudah setahun mengontrak di lingkungan tersebut sangat tertutup. Begitu pula Fitri Andriana yang baru dua bulan tinggal bersama di kontrakan.

Anak dari pernikahan Alam sebelumnya juga tidak disekolahk­an. ”Warga jarang yang kenal. Hanya ketemu saat salat berjamaah di masjid,” katanya.

Setahu Sanusi, sehari-hari mereka lebih banyak berdiam di kontrakan. Nyaris tidak pernah keluar untuk bertetangg­a. ”Kalau kami tahu dari dulu mereka ini teroris akan kami usir dari sini,” katanya.

Sementara itu, rumah Fitri Andriana, 20, yang diduga terlibat penusukan Wiranto kemarin langsung dikerumuni warga. Rumah di Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, itu dipenuhi warga yang merupakan tetangga orang tua Fitri. Pipit – sapaan Fitri– diketahui jarang berbaur dengan warga sekitar.

Pipit merupakan anak ketiga di antara empat bersaudara dari pasangan Sunarto dan Carti. Menurut Radar Brebes, polisi menjaga dan meminta keterangan dari keluarga Pipit. Rumah orang tua Pipit telah dipasangi garis polisi. Selain polisi, tak ada yang diperboleh­kan memasuki rumah orang tua Pipit. Pihak keluarga belum bisa dimintai keterangan oleh awak media.

Polisi kemudian menggeleda­h rumah tersebut. Hasilnya, ditemukan 6 anak panah, 1 busur, dan 1 dus buku bacaan. Hingga Kamis petang (10/10), polisi masih menjaga rumah tersebut.

Sri Rahayu, bibi Pipit, mengatakan bahwa Pipit sebenarnya berpenampi­lan tomboi. Dia berpenampi­lan itu sebelum bekerja di Jakarta. Namun, sepulang dari Jakarta, penampilan­nya berubah. Pipit mengenakan jilbab serta memakai cadar. Dia juga sering berlatih memanah di dalam rumahnya. Pipit pun diketahui sering membaca buku-buku. Namun, tidak jelas buku apa yang sering dibaca. ”Setelah pulang, terus berangkat lagi dan sudah sebulan tidak komunikasi lagi sama keluarga,” tuturnya.

Rahayu membenarka­n bahwa Pipit merupakan lulusan sekolah dasar (SD). Setelah lulus, Pipit langsung merantau ke Jakarta untuk bekerja. Ekonomi keluargany­a yang lemah mengharusk­annya ikut membantu mencari uang. Orang tua Pipit bekerja sebagai buruh tani dan sesekali serabutan. ”Dia ikut kerja kakaknya di Jakarta. Dari lulus SD langsung kerja. Ndak sekolah lagi. Kalau dengan tetangga, tidak pernah berbaur,” kata Rahayu yang rumahnya tepat di depan rumah orang tua Pipit.

Dia mengungkap­kan, Pipit terakhir pulang ke rumah orang tuanya pada Lebaran kemarin. Pipit sempat bertahan di rumah selama sebulan. Karena tidak ada pekerjaan, Pipit kemudian berangkat ke Jakarta lagi untuk mencari pekerjaan. Selama di rumah, kata Rahayu, Pipit tidak pernah berbaur dengan warga. Saat itu dia melihat Pipit mulai memakai cadar. Hal tersebut mengundang tanya warga sekitar. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa Pipit terpapar paham radikal.

Kepala Desa Sitanggal Untung Andi Purwanto mengaku kaget saat mendengar Pipit terlibat aksi penusukan Wiranto. Dia mengatakan, Pipit memang dikenal tertutup. ”Sekolah hanya SD atau SMP gitu. Setelah itu merantau kerja,” katanya. Hingga kemarin, polisi belum memberikan keterangan resmi. Yang jelas, orang tua Pipit dibawa ke Mapolres Brebes untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Saat dimintai konfirmasi, Kasatreskr­im Polres Brebes AKP Tri Agung Suryomicho menegaskan bahwa pengusutan kejadian itu bukan kewenangan­nya. ”(Kewenangan, Red) Densus itu,” ucapnya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia