Regulasi Proindustri Bikin Harga Kompetitif
SURABAYA, Jawa Pos – Pesatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia ternyata tidak mampu menggairahkan industri baja. Selama dua tahun terakhir, bisnis baja tanah air tidak menunjukkan pertumbuhan berarti. Penyebab utamanya adalah derasnya impor baja dari Vietnam dan Tiongkok.
Berdasar data The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) 2018, impor baja Indonesia mencapai 7 juta ton. Hingga semester pertama tahun ini, angka tersebut masih terus naik. Sementara itu, kapasitas produksi baja domestik berada pada kisaran yang sama, 7 juta ton. Besi dan baja juga tercatat sebagai komoditas impor terbesar ketiga di Indonesia. Yakni, 6,45 persen dari total impor dengan nilai USD 10,25 miliar atau Rp 144,8 triliun.
Ketua Klaster Baja Lapis Aluminium-Seng Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Henry Setiawan mengeluhkan gempuran baja impor yang melemahkan produsen tanah air. ’’Kenaikan impor baja bisa sampai 30 persen tiap tahun,’’ ujarnya kemarin (10/10).
Henry menyebutkan, ada dua produk baja dari luar negeri yang masuk Indonesia. Yakni, baja SNI dan non-SNI. Dari total impor baja yang ada, lebih dari 50 persen diisi non-SNI. Banyak penyimpangan pada kelompok baja non-SNI. Misalnya, ketebalan dan berat lapisan yang tidak sesuai.
Henry menjelaskan, mayoritas baja impor berasal dari Vietnam dan Tiongkok. Komposisinya fifty-fifty. ’’Harga mereka memang jauh lebih murah sehingga industri dalam negeri kalah saing. Padahal, sebenarnya ada demand baja di Indonesia,’’ tegasnya.
Menurut Henry, harga baja Tiongkok miring karena pemerintah memberikan banyak insentif.
Sebagai upaya untuk melawan impor, Henry telah mengajukan petisi ke komite antidumping. Dia memprotes penerapan bea masuk antidumping untuk baja impor. ’’Kami minta bea masuk baja dari luar negeri itu ditambah sehingga industri dalam negeri tidak semakin terpuruk,’’ katanya.
Henry juga meminta pemerintah lebih peduli dengan memberikan perlindungan dan kebijakan yang proindustri.