Remaja Skizofrenia Terpicu Pola Asuh
SURABAYA, Jawa Pos – Skizofrenia bukan monopoli orang dewasa. Para remaja juga menghadapi ancaman yang sama. Misalnya, tren yang terjadi di RSJ Menur. Banyak pasien dengan rentang usia 11 sampai 18 tahun yang dirawat di fasilitas kesehatan milik Pemprov Jatim itu. Kebanyakan datang dalam kondisi sudah berhalusinasi.
”Seperti salah satu pasien berusia 16 tahun yang kami rawat. Dia mengalami halusinasi melalui pendengaran. Sering mendapatkan bisikan-bisikan untuk melakukan suatu hal,” kata dokter spesialis kesehatan jiwa RSJ Menur dr Ivana Sajogo SpKJ (K). Selain itu, ada gejala gangguan tidur. Biasanya, pasien skizofrenia remaja, tutur Ivana, dipicu faktor pola asuh yang tidak maksimal. Misalnya, tidak adanya figur ayah atau ibu atau bahkan keduanya. Apabila ada figur pengganti, pola pengasuhan sering kali berbeda.
”Yang paling banyak karena remaja yang tidak mendapatkan peran ayah,” ucap dia. Sementara itu, pola pengasuhan figur pengganti –seperti kakek atau anggota keluarga laki-laki yang lain– tidak sama dengan figur ayah.
Selain itu, ada faktor lain yang mendukung skizofrenia muncul. Yakni, temperamen atau watak yang berbeda dengan kebanyakan remaja. Misalnya, remaja dengan watak keras kepala, penakut, atau memiliki kecemasan berlebih sehingga mengganggu fungsi otak. Bisa juga adanya faktor organik. Misalnya, saat kecil, ada riwayat kejang yang mengganggu fungsi otak. ”Tapi, tidak semua anak dengan faktor tersebut pasti akan skizofrenia,” ucap Ivana. Ada beberapa pasien yang mangkir minum obat. Apabila mereka berhenti minum obat, pengobatan harus diulang dari awal lagi jika kambuh. Ketika pasien sudah stabil, masih harus dilakukan evaluasi hingga maksimal satu tahun. Ivana menjelaskan, ada beberapa hal yang mengakibatkan mereka berhenti minum obat. Pertama, kurangnya pemahaman orang tua. Biasanya, ketika sudah berobat sebulan, pasien akan terlihat lebih stabil. ”Padahal, stabil itu belum tentu benar-benar sudah sembuh,” ucapnya.