Logis Dahulu, Baik dan Benar Kemudian
Sebab, kelogisan menuntut orang untuk mempekerjakan akal secara kreatif, sedangkan baik-benar umumnya berpaku pada pakem.
KEHADIRAN penulis jenaka Iqbal Aji Daryono di kancah kebahasaan tanah air menegaskan bahwa bahasa kian hari kian cair. Ulasan-ulasannya menembus sekat-sekat kekakuan.
Iqbal adalah kepingan lain dari para pegiat bahasa yang, di hadapan generasi milenial, juga menjadikan gaya populer sebagai roh. Dua di antaranya Eko Endarmoko dan Ivan Lanin.
Kredo Iqbal itulah yang lantas terejawantah dalam buku Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira (di sampul tertulis huruf kecil semua). Slogan paten berbahasa Indonesia dengan baik dan benar pun tak luput dari kritiknya, terlebih di bagian ”berbahasa yang benar”. ”Ada satu semangat yang saya merasa tidak pernah mendapatkannya dulu di masa-masa sekolah. Semangat tersebut adalah berbahasa Indonesia yang logis, yang masuk akal, yang memenuhi kebutuhan nalar (halaman 5).”
Dengan sedikit ”mengesampingkan” pakem baik dan benar, Iqbal lebih menekankan berbahasa dengan logis dahulu. Mengacu pada hierarki berbahasa, berpikir logis, dalam pandangan saya, bukan ”menurut saya” yang juga tak luput dari kritik penulis (halaman 68), merupakan kompetensi yang boleh dibilang paling rumit. Sebab, kelogisan menuntut orang untuk mempekerjakan akal secara kreatif, sedangkan baik-benar umumnya berpaku pada pakem.
Di bagian pengantar, Iqbal sudah menyalak dengan menggugat guruguru yang masih menanyakan SPOK (subjek, predikat, objek, keterangan) kepada muridnya apabila menemui kalimat Iwan mencuri mangga dengan tangkai bambu pada saat azan Magrib terdengar. Akan jauh lebih esensial jika guru menanyakan: Siapa yang mencuri? Apa yang dicuri? Apa yang dipakai untuk mencuri? Kapan pencurian dilakukan? Apakah dalam pencurian itu si pelaku harus memakai tangkai bambu?
Dalam buku Xenoglosofilia: Kenapa
Harus Nginggris?, Ivan Lanin mengulas banyak hal ihwal neologisme lantaran kian maraknya istilah asing yang masuk ke Indonesia seturut dengan arus perkembangan teknologi. Penerjemahan itulah salah satu fokus Ivan Lanin.
Eko Endarmoko lain lagi. Penganggit Tesamoko itu mengulas topik kebahasaan lewat apa yang disebut ”dari luar pagar”. Maka, tak heran kalau dalam buku Remah-Remah Bahasa: Perbincangan dari Luar Pagar, Eko beberapa kali tidak segendang sepenarian dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun perumusnya.
Sementara itu, Iqbal membidik penalaran sebagai salah satu perantara. Meskipun di beberapa tulisan masih kita jumpai pengetahuan usang tentang, antara lain, jauhi dan jauhkan maupun kronologi dan kronologis, sebagian yang lain boleh disebut sebagai hal baru.
Ketajaman logika itu ada dalam, misalnya, tulisan Bahasa Indonesia Egois dan Tidak Ilmiah?. Frasa matahari terbenam dalam lagu legendaris Burung Hantu kurang selaras dengan ilmu pengetahuan.
”Padahal, dalam pelajaran IPA, kita diajari untuk memahami cara kerja tata surya. Bumi berotasi, matahari berotasi sekaligus berevolusi, dan siang dan malam terjadi hanya karena perubahan posisi bagian bumi terhadap matahari... Pendek kata, sejak SD kita sudah paham secara rasional dan objektif bahwa matahari tidak pernah tenggelam (halaman 43).”
Penulis yang baik umumnya mampu mengambil fenomena sekitar sebagai bahan refleksi. Dengan begitu, ada unsur kedekatan antara tulisan dan pembaca. Hiperbola Sandiaga dan Inovasi Berbahasa Bang Sandiaga
adalah bukti kecermatan penulis dalam menyelisik fenomena.
Sandiaga Uno menjadi buah bibir karena ungkapan tempe sekarang setipis kartu ATM. Kala itu dia sedang berkampanye sebagai cawapres untuk Pilpres 2019. Iqbal mengkritik sebagian orang yang memaknai secara denotatif ungkapan setipis kartu ATM.
Padahal, itulah majas hiperbola dan kita mengenalnya sejak sekolah. ”Ucapan Sandiaga Uno itu hanyalah ungkapan yang menyangatkan, agar muncul kesan bahwa tempe sekarang diiris tipis-tipis sekali (halaman 101).” Soal inovasi berbahasa, ungkapan setipis kartu ATM juga lebih milenial dan kontekstual daripada, misalnya, kiasan lawas bagai air di atas daun talas dan bagai pinang dibelah dua.
Di samping logis, buku ini bisa dibilang menggembirakan. Sekurangkurangnya ada dua alasan. Pertama, stilistika tulisan yang tidak menjemukan. Kadang malah ada candaannya. Kedua, upaya melestarikan bahasa yang hidup di masyarakat, bukan malah memberangusnya. Begitulah seyogianya komunikator dan komunikan bekerja. (*)