Anggaran Belajar Bersumber dari Patungan Warga
Sebab, sejak orang tuanya bercerai, dia diasuh sepenuhnya oleh sang nenek yang sudah jauh lebih sepuh. ’’Farhan perlu sekolah. Tapi, saya sulit mencukupi kebutuhannya,” tutur Tutik.
Sebagai penjual rujak, ibu dua anak itu mengakui bahwa penghasilannya hanya cukup untuk makan. Sehari, dia hanya mampu mengumpulkan uang Rp 40 ribu. Jangankan menyekolahkan cucunya, mencukupi kebutuhan saja masih kurang.
Kondisi itu mendorong Tutik untuk mengadukan keluhannya ke pengurus RW. Harapannya, ada bantuan sekolah untuk cucunya. Dan, keresahan Tutik langsung dijawab pengurus RW.
Farhan dimasukkan ke dalam peserta program anak asuh. Seluruh biaya belajar ditanggung warga RW 6. Mulai uang untuk membayar les, membeli buku, hingga seragam sekolah. Dia mendapat bantuan seutuhnya.
Belakangan, bukan hanya Farhan yang disekolahkan. Saat ini ada 15 anak yang terdaftar sebagai peserta program anak asuh di RW 6 Kelurahan Wonokusumo. Ada yang masih SD, ada pula yang sudah masuk SMP. ’’Kami pastikan seluruh anak berkekurangan secara ekonomi. Orang tuanya kuli, buruh rumah tangga, dan tukang becak,” ungkap Ketua RW 6 Kelurahan Wonokusumo Zaenal Ishom saat menjelaskan program yang digagasnya.
Menurut pria 60 tahun tersebut, melalui program itu, pengurus RW membentuk tim khusus. Selain menggalang dana, ada warga yang ditugasi untuk menyurvei kondisi anak-anak yang disekolahkan.
Tentu, bantuan tidak diberikan secara ngawur. Ada beberapa kriteria anak yang dibantu. Selain mengalami problem ekonomi, komitmen orang tua menjadi pertimbangan. Sebab, tidak semua orang tua semangat mendukung anak mereka sekolah.
’’Tempo hari, ada anak yang tak mau sekolah karena tidak memiliki sepeda. Kami belikan, tapi justru ayah dan ibunya yang malas mengantarkan anaknya ke sekolah,” kenang Ishom.
Bapa kempa tanak itu menyebutkan bahwa kasus putus sekolah yang diakibatkan rendahnya kesadaran orang tua memang lumayan banyak. Yang disebabkan perceraian dan KDRT juga tak sedikit. Hanya, pengurus RW tak bisa menolong semuanya.
Salah satu penyebabnya, terbentur faktor anggaran. Saat ini program anak asuh hanya mengandalkan patungan warga. Itu pun seikhlasnya. ’’Karena uang masuk sedikit, kami hanya bisa menyekolahkan 15 anak per tahun,” tegas Ishom.
Dia menuturkan bahwa pemberian bantuan dari RW memang tidak berbentuk rupiah. Bantuan diberikan dalam wujud peralatan sekolah dan kebutuhan siswa lainnya .’ Ada siswa yang mendapat jatah beras per bulan karena dia masih kekurangan gizi,” tambah Ishom.