Jawa Pos

Model Tak Harus Lima Kotak Suara

-

Pelantikan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin kemarin (20/10) menandai selesainya seluruh tahapan Pemilu 2019. Pemilu yang pertama dan bisa jadi terakhir diselengga­rakan secara serentak dengan sistem lima surat suara. Keserentak­an pemilu itu kini dipermasal­ahkan.

MK mencatat ada dua permohonan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah masuk. Pertama, dari dua pemantau pemilu di Jawa Tengah (Arjuna Pemantau Pemilu dan Pena Pemantau Pemilu) dan empat pemohon perorangan. Kedua, dari Perludem. Substansin­ya hampir sama, yakni menyoal regulasi keserentak­an pemilu.

Pada pokoknya, para pemantau menuntut agar frasa secara serentak pada pasal 167 ayat (3) dan 347 ayat (1) UU Pemilu direvisi karena dianggap bertentang­an dengan UUD 1945. Sementara itu, Perludem menuntut agar frasa pemungutan suara dilaksanak­an secara serentak di pasal yang sama dinyatakan bertentang­an dengan UUD 1945 secara bersyarat.

Syaratnya, pemilu serentak dibagi dua. Pertama, pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, presiden, dan DPD. Kedua, pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota dua tahun setelahnya. Bila tidak ada klausul itu, dua pasal tersebut dinyatakan inkonstitu­sional.

Perbedaan di antara kedua permohonan itu ada pada prinsip tuntutan. Perludem masih mengingink­an pemilu dilaksanak­an serentak. Hanya, dibagi dua jenis, yakni pemilu nasional dan daerah. Sementara itu, para pemantau mengingink­an pemilu tidak lagi dilaksanak­an serentak sehingga kembali ke model sebelumnya.

Kedua gugatan itu tidak terlepas dari berbagai persoalan yang timbul dari pemilu serentak lima surat suara. Mulai isu pileg yang tertutup pilpres hingga polarisasi akibat minimnya peserta untuk pilpres.

Dari sisi teknis, penyelengg­araan Pemilu 2019 memang begitu rumit. Mulai tahapan awal, kampanye, hingga pemungutan dan penghitung­an suara. Biayanya pun mahal. Pagu anggaran penyelengg­araan tahapan Pemilu 2019 mencapai Rp 27,3 triliun. Belum lagi meninggaln­ya ratusan penyelengg­ara pemilu.

MK mendatangk­an dua ahli untuk dimintai pendapat mengenai pemilu serentak. Yakni, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan dan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Prof Syamsuddin Haris.

Hakim Konstitusi Saldi Isra menuturkan, karena isu krusial, para hakim sudah memutuskan bahwa perkara keserentak­an pemilu dibahas lebih terbuka. ’’Agar menjadi perhatian semua orang karena ini isu yang penting,’’ terangnya. Selain itu, pembahasan secara mendalam membutuhka­n waktu yang lebih panjang.

Pada dasarnya, para ahli sepakat dengan putusan MK sebelumnya bahwa pemilu dilaksanak­an secara serentak. Hanya, modelnya tidak harus seperti yang berlaku pada Pemilu 2019 dengan menggunaka­n lima kotak suara. ’’Pilihan atas skema atau model pemilu serentak itu cukup banyak,’’ terang Syamsuddin Haris.

Dalam konteks Indonesia, ada enam model pemilu serentak yang bisa diterapkan. Yakni, pemilu tujuh kotak suara, pileg serentak pusat dan daerah yang disusul pemilu eksekutif serentak pusat dan daerah, serta pemilu serentak dengan pemilu sela, dalam arti memisahkan pemilu nasional dan lokal.

Kemudian, pemilu serentak nasional dan lokal yang terpisah dan waktu pelaksanaa­n pemilu lokal dibedakan per regional. Kelima, pemilu serentak nasional yang diikuti pemilu serentak di masing-msaing provinsi sesuai kesepakata­n. Terakhir, adalah pemilu serentak lima kotak suara yang diikuti pemilu eksekutif lokal di masingmasi­ng provinsi (lihat grafis).

Di antara enam model itu, ada satu yang direkomend­asikan para akademisi dalam electoral research institute. Yakni, model keempat. Pemisahan pemilu serentak nasional dengan lokal. Pemilu serentak nasional memilih presiden-wakil presseiden, DPR, dan DPD. Sementara itu, pemilu serentak lokal memilih gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. ’’Pemilu serentak lokal diselengga­rakan 30 bulan setelah pemilu serentak nasional,’’ lanjutnya.

Apalagi, pemisahan keserentak­an itu sebetulnya pernah dibahas Panitia Ad Hoc 1 MPR yang bertugas menyiapkan amandemen UUD 1945 pada 2000.

MK memang pernah menyatakan bahwa pilkada bukan rezim pemilu. ’’Tetapi, secara esensial tak ada yang bisa membantah bahwa pilkada pada hakikatnya adalah pemilu,’’ tambahnya. Apalagi, penyelengg­aranya juga sama.

Djayadi Hanan juga berpendapa­t bahwa banyak pilihan model keserentak­an pemilu yang bisa digunakan. ’’Asalkan pokok soalnya adalah pelaksanaa­n pemilu presiden dan legislatif nasional diselengga­rakan secara serentak,’’ terangnya. Selebihnya bisa dikembangk­an. Apakah mau disertai pemilu lokal atau tidak.

Dalam konteks pemilu saat ini, hulu dari seluruh persoalan adalah beratnya beban penyelengg­araan pemilu serentak 2019. ’’Maka melepaskan pemilu lokal, baik eksekutif maupun legislatif, dari pemilu nasional bisa menjadi jalan keluar,’’ lanjutnya.

Apakah kemudian pemilu lokal disatukan antara legislatif dan eksekutif, atau malah dipisah adalah pilihan yang sah. Itu bila mengacu asumsi bahwa MK tetap pada putusan bahwa pemilu serentak adalah yang konstitusi­onal. Bila tidak, pilihannya menjadi makin banyak.

Pemilu eksekutif dan legislatif di level nasional adalah konsekuens­i sistem pemerintah­an. Sementara itu, pemilu lokal adalah konsekuens­i dari pilihan pengelolaa­n pemerintah­an. Karena itu, dalam pemerintah­an presidensi­al, keserentak­an hanya mencakup pemilu legislatif dan eksekutif di tingkat nasional.

 ?? HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS ?? CARI SISTEM TERBAIK: Syamsuddin Haris (kanan) menjadi salah seorang saksi ahli yang dihadirkan hakim konstitusi dalam sidang gugatan uji materi UU Pemilu di MK.
HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS CARI SISTEM TERBAIK: Syamsuddin Haris (kanan) menjadi salah seorang saksi ahli yang dihadirkan hakim konstitusi dalam sidang gugatan uji materi UU Pemilu di MK.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia