Jawa Pos

Bangun Nasionalis­me Melalui Berbahasa yang Benar

-

Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang terbit pada 9 Oktober lalu mengatur detail penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Mulai mengatur komunikasi di linstansi pemerintah, swasta, penamaan gedung, hotel, apartemen, hingga perjanjian internasio­nal. Berikut wawancara wartawan Jawa Pos Agas Putra Hartanto bersama Guru Besar Linguistik Universita­s Mataram Prof Mahsun Apa komentar Anda terkait penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Penggunaan Bahasa Indonesia?

Sebenarnya ini kan sudah lama. Ada UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan, sudah jelas itu. Kemudian, ada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasio­nal. Itu tentang pengembang­an. Nah, dalam aturan yang dibuat Pak Jokowi, sebenarnya dasarnya adalah dua aturan tersebut. Mengenai pidato kenegaraan di luar negeri, seharusnya menggunaka­n bahasa Indonesia. Nah, itu bagus. Artinya, Pak Jokowi sudah mulai sadar bagaimana peran bahasa dalam membangun nasionalis­me kita. Sebab, bahasa Indonesia itu kan menggambar­kan bahwa kita ini orang Indonesia. Coba lihat, presiden Prancis dan Jepang tidak akan pernah mau pakai bahasa Inggris. Mereka akan memakai bahasa negara mereka. Hanya kita saja yang latah. Menurut saya, keluarnya perpres yang baru ini semakin mempertega­s.

Apa memang perlu diatur masalah keseharian berbahasa di lingkungan kerja pemerintah maupun swasta?

Jadi begini, jangan disalahtaf­sirkan. Jadi, itu perpres yang keluar ini pasti bersumber pada UU Nomor 24/2009. Jelas fungsi bahasa di situ. Bahasa Indonesia, daerah, asing jelas itu fungsinya. Bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi di lingkungan kerja pemerintah maupun swasta karena di situ ada interaksi antaretnis/antarsuku. Bukan sesama etnis. Tidak mungkin dalam suatu perusahaan atau instansi hanya terdiri atas satu suku. Pasti dari berbagai macam suku. Nah, bahasa daerah boleh digunakan jika dilakukan di komunitas etnis tersebut. Jadi, ketika dengan etnis lain, misalnya orang Jawa sama Jawa boleh ngomong bahasa Jawa kareba itu memang fungsi bahasa daerah. Digunakan untuk komunikasi intraetnis. Ketika antaretnis, baru digunakan bahasa Indonesia. Itu yang dimaksudka­n di situ.

Jadi, langkah pemerintah menerbitka­n perpres tersebut sudah tepat?

Malah bagus sekali. Ada peraturan hitam di atas putih yang mengatur bahwa berbahasa harus menggunaka­n bahasa Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga dalam forum internasio­nal. Di UU Nomor 24/2009 sudah jelas. Kedudukan UU lebih tinggi daripada perpres. Nah, jadi perpres itu tidak akan bertabraka­n dengan peraturan di atasnya. Jadi semacam model pakaian. Kalau mau renang, jangan pakai jas. Mau datang ke peseta, jangan pakai bikini. Harus memakai busana yang pas sesuai dengan kondisi.

Bagaimana kalau ada kerja sama dengan luar negeri?

Harus gunakan bahasa Indonesia. Jangan sampai kita, misalnya ada orang perusahaan Amerika Serikat, harus berbahasa Inggris. Jangan! Kita jangan melayani mereka. Mereka datang di negara kita, harus menggunaka­n bahasa kita. Pekerja asing itu harus ada standar kompetensi minimal berbahasa Indonesia melalui UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia). Semacam TOEFL bahasa Indonesia. Justru bagi orang asing itu harus memiliki kompetensi minimal bahasa Indonesia, paling tidak menggunaka­n penerjemah.

 ?? AGAS PUTRA HARTANTO/JAWA POS ??
AGAS PUTRA HARTANTO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia