Suka Bercakap dengan Diri Sendiri saat Lari
Dua runners perempuan ini menyukai berlari lintas alam alih-alih lari di jalan. Versi mereka, lari di jalan jauh lebih melelahkan daripada trail run. Kata Mereka, Trail Run Lebih Fun daripada Road Run
DIKENAL sebagai salah seorang trail runner, Endang Suryani Sipayung belakangan ini getol mengikuti event lari yang berfokus pada kegiatan sosial. Setidaknya, Endang sudah beberapa kali tercatat ikut bekontribusi dalam kegiatan lari untuk amal. Salah satunya, Nusantara Run 2017. Itu merupakan running movement sejauh 127,9 km dengan rute Purwokerto–Dieng. Perempuan 34 tahun itu juga pernah bergabung dalam run to care (RTC) 150 km yang diinisiasi SOS Children’s Villages di Tabanan, Bali. Yang terbaru, Endang ikut andil dalam Jelajah Timur Run for Equality 57 Km untuk membangun sarana air bersih di beberapa dusun di NTT. Tahapan mengejar podium dilewati Endang di tahun-tahun sebelumnya. Saat ini adalah masanya dia berlari untuk ikut membantu orang lain. Meskipun, tidak semua charity run selalu berhasil dituntaskannya dengan gemilang. Misalnya, saat dia melakoni RTC yang mesti tumbang di KM 105. ”Di kilometer itu sempat ada perlawanan batin sampai 30 menit. Medannya edan, tanpa ampun. Hati saya bilang, berhenti saja kalau sudah nggak kuat. Karena kaki juga cidera,” ujarnya saat ditemui di Bali beberapa waktu lalu.
Ikut bergabung dalam sebuah charity run, Endang merasa lebih bisa menikmati kegiatan lari itu sendiri. ”Kalau race dan podium sudah beberapa kali. Sekarang pengin berguna buat orang lain,” terang perempuan asal Batak tersebut.
Namun, DNF tidak selalu mematahkan hatinya. Pada pengalaman yang lain seperti saat Rinjani Trail Run 60 Km pada 2017 lalu, Endang juga memilih menghentikan langkahnya di Km 30 pada pukul 03.00. Dia ingat betul, saat itu dirinya sempat jatuh beberapa kali di tepi jurang. Dia memutuskan menuruti intuisi untuk berhenti. ”Toh tahun-tahun berikutnya masih bisa ikut lagi. Semakin sering lari, semakin bijaksana, tahu batas diri,” jelasnya.
Setiap kali lari, dia memang kerap bercakap dengan diri sendiri. Demi mengenal kemampuan tubuh dan kemauan diri sendiri. Lari juga dijadikan Endang sebagai salah satu terapi. Terutama saat dia tengah dibelit masalah dan amarah. Saat suntuk dan belum menemukan solusi, Endang akan cari solusi sembari lari. Sebab, ketika tengah lari, jiwanya jauh lebih sabar sekaligus rileks.
Perkenalan Endang dengan dunia lari sendiri berawal dari Komunitas Jimbaran Marathon pada 2016 lalu. Di awal kenalan itu, dia langsung diajak menjajal trail run ke Gunung Batur. Padahal, sebelumnya sekalipun dia tidak pernah naik gunung.
Saat trail race perdananya di Gunung Batur, Endang berhasil menuntaskannya dengan epik. Dia mencatatkan namanya pada podium keempat. Podium trail run membuat antusiasmenya terhadap lari semakin membuncah.
Karakter Endang yang sudah telanjur cinta dengan trail run membuatnya tidak terlalu terobsesi memburu race marathon sampai ke luar negeri. Bagi dia, maraton cukup di dalam negeri saja. Salah satu yang diburunya adalah Ultra Trail du Mont Blanc (UTMB) di Prancis, tiga tahun depan.
Rute yang beragam juga bikin lebih waspada dan melatih refleks kita.” Vonny Thorley, Pelari Bali