Seharusnya Rp 2,2 Juta, Cuma Dianggarkan Rp 1,8 Juta
SURABAYA, Jawa Pos – Masih ada masalah pendanaan Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2020. Bayaran panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS) yang seharusnya Rp 2,2 juta hanya dianggarkan Rp 1,8 juta. Perdebatan terjadi lantaran naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) telanjur ditandatangani pemkot.
Persoalan itu dibahas di Komisi A DPRD Surabaya kemarin. Komisioner KPU yang hadir menerangkan kronologi penandatanganan NPHD tersebut. Pihak pemkot yang diwakili bagian hukum menerangkan bahwa NPHD tak mungkin diubah. Itu hanya memungkinkan saat terjadi pemilihan ulang.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya Imam Syafi’i menilai persoalan itu bisa jadi masalah besar jika dibiarkan. Bisa jadi minat warga untuk jadi PPK dan PPS turun. Atau bahkan ada pemboikotan karena jatah insentif yang mereka terima tidak sesuai ketentuan, yakni Rp 2,2 juta. ”Bisa juga terjadi kecemburuan. SidoarjoGresik Rp 2,2 juta, tapi Surabaya
Rp 1,8 juta,” kata Imam kemarin.
Karena itu, komisi A meminta KPU Surabaya berkoordinasi dengan KPU Jatim dan pusat. Sementara itu, pemkot diminta menggandeng kejaksaan agar kebijakan yang diambil tidak salah langkah. Imam menilai NPHD bisa saja direvisi karena secara aturan hak PPK dan PPS memang Rp 2,2 juta per bulan. ”Jangankan NPHD, UUD saja bisa diamandemen. Itu kan bukan kitab suci,” katanya.
Kesepakatan itu harus diambil secara cepat. Sebab, NPHD masuk APBD 2020 yang kini sedang dibahas bersama di dewan. Nilainya tidak bisa diubah lagi per 30 November. Sebab, itulah batas waktu pembahasan APBD. Jika pemkot dan dewan belum menyepakati APBD hingga batas waktu tersebut, ada sanksi berupa penundaan gaji kepala daerah dan DPRD. Pilwali Surabaya bakal dilaksanakan September. Namun, panitia ad hoc tersebut mulai bekerja pada awal tahun. Karena itu, Imam meminta persoalan tersebut segera dituntaskan.
Bisa juga terjadi kecemburuan. SidoarjoGresik Rp 2,2 juta, tapi Surabaya Rp 1,8 juta.”
IMAM SYAFI’I
Anggota Komisi A DPRD Surabaya