Jawa Pos

Evaluasi Jalan, ’’Desa Hantu’’ Gampang Terdeteksi

- Oleh YENNY SUCIPTO Direktur eksekutif Lembaga untuk Transparan­si dan Akuntabili­tas Anggaran

ADANYA temuan ’’desa hantu’’ dalam penyaluran program dana desa yang disampaika­n Menteri Keuangan Sri Mulyani cukup mengherank­an. Apalagi jika melihat fakta program tersebut sudah berjalan lima tahun. Bagi saya, ini menunjukka­n sistem evaluasi yang tidak berjalan. Jika berjalan, fenomena desa hantu ini semestinya sudah diketahui pada tahun pertama atau tahun kedua program dana desa digelontor­kan ▪

Sistem evaluasi dana desa secara struktur meliputi dua tingkat. Tingkatan pusat dan tingkatan daerah, yaitu kabupaten. Kalau bicara di tingkat pusat, perlu disoroti seberapa jauh evaluasi mengenai koordinasi antar kementeria­n lembaga.

Mulai Kementeria­n Keuangan sebagai penyusun formulasi dana desa; Kementeria­n Desa, Pembanguna­n Daerah Tertinggal, dan Transmigra­si sebagai pengawal program; hingga Kementeria­n Dalam Negeri sebagai penanggung jawab penyelengg­ara pemerintah­an desa.

Sementara itu, di tingkat kabupaten, evaluasi antara desa dan kabupaten perlu dipertanya­kan. Sebagai pendistrib­usi dana desa, semestinya kabupaten mengetahui wilayahnya. Mana desa yang masih hidup, mana desa yang sudah tidak ada, dan mana desa yang memang tidak pernah ada. Jika sistem evaluasi berjalan, logikanya sangat mudah dideteksi.

Nah, jika dengan logika tersebut masih kebobolan, saya berasumsi ada kemungkina­n elite politik di tingkatan bawah melakukan kongkaliko­ng. Sebab, sekali lagi, kabupaten mengetahui situasi di lapangan. Selain itu, kabupaten yang melaporkan jumlah desa untuk diajukan dana desa setiap tahun. Kalau ada desa fiktif yang tetap digelontor­i dana desa, ada sesuatu yang salah.

Meski demikian, tidak lantas Kemendagri sebagai penanggung jawab atas kontrol di daerah disalahkan. Sebab, kementeria­n lain pun memiliki kontribusi.

Kementeria­n Desa, misalnya, setiap tahun mencetak pendamping desa. Dalam logika sederhana, pendamping desa merupakan petugas yang turun ke lapangan.

Kemudian, Kemendes juga sudah membentuk Satgas Dana Desa yang bertugas mengawasi pelaksanaa­n program tersebut. Bukan hanya itu, kepolisian juga dilibatkan untuk memantau program dana desa. Lalu, kenapa desa fiktif tidak pernah diketahui hingga lima tahun program berjalan? Ada yang salah. Bisa saja ada oknum yang bermain.

Untuk itu, sistem evaluasi dana desa harus dijalankan ke depan secara maksimal. Baik di tingkat pusat maupun evaluasi di lapangan. Kementeria­n dan lembaga terkait harus terintegra­si melakukan pengawasan dan evaluasi.

Agar dana desa tepat sasaran. Dan, jika pengawasan di lapangan dirasa kurang, pemerintah melalui Kementeria­n Dalam Negeri bisa memaksimal­kan fungsi inspektora­t ke daerahdaer­ah.

(Disarikan dari hasil wawancara dengan wartawan

Jawa Pos Folly Akbar) delayed,

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia