Ada Penanda Tahun dan Bencet Kuno
Di sekitar Jalan Karet, Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantian, ketika azan berkumandang, bangunan tua didatangi warga untuk melaksanakan salat. Bangunan bercat putih di Jalan Bibis Gang I tersebut merupakan Musala Thariqul Jannah.
KARTIKA SARI, Jawa Pos
MENURUT tanda waktu yang terdapat di atas mimbar imam, bangunan tersebut berdiri sejak 1231 Hijriah. Atau sekitar 1810 jika dikonversikan ke tahun Masehi. Musala di timur Sungai Kalimas itu masih berdiri kukuh.
Bangunan lantai 1 difungsikan untuk tempat ibadah. Lantai dan dindingnya sudah dilapisi keramik. Jendelanya telah dicat ulang. Di sudut kanan terdapat mimbar dari kayu dengan ornamen ukiran di pinggirannya. Tempat untuk imam berkhotbah tersebut juga telah dipoles ulang.
Menurut Mathuri, salah seorang pengurus musala, salah satu peninggalan yang menunjukkan bahwa musala itu sudah ada ratusan tahun lalu adalah bencet di tembok luar musala. ”Dulunya
bencet ini dipakai sebagai penanda waktu salat,” tuturnya.
Bencet berupa sebatang besi bundar dengan diameter 1,5 sentimeter dan tinggi 15 sentimeter. Bayangan dari benda itu dapat menunjukkan datangnya waktu salat. Bencet tersebut berdiri pada pilar persegi empat.
Menurut Mathuri, dahulu musala tersebut dibangun habib dari Arab. Jalan Bibis I, lanjut dia, pernah menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Surabaya. ”Tapi, masih perlu penelusuran lagi habib siapa yang pernah menaungi musala itu,” ujarnya.
Dia mendapatkan cerita dari pendahulunya bahwa habib tersebut tokoh yang disegani di kawasan Bibis. ”Menurut cerita, tentara Belanda tidak berani datang ke musala karena ada habib itu,” ucapnya.
Yang menarik selain adanya bencet di musala tersebut, lantai 2 musala masih menggunakan kayu jati asli. Dindingnya pun belum dipugar. Sementara itu, jendelanya khas bangunan zaman dulu. Berbentuk persegi panjang dengan teralis-teralis besi.
Di bagian atas, terdapat loteng.
Berdasar penuturan Mathuri, loteng tersebut difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang musala. Di tempat itu juga terdapat sesek (gedek) yang menjadi pelapis atap agar tidak ada debu yang masuk. Atapnya sudah diganti dengan genting.
Pemerhati cagar budaya dari komunitas Laskar Suroboyo Muhammad Saiful yang kemarin meninjau musala tersebut mengatakan, apabila benar bangunan itu dibangun sejak 1810, usianya lebih tua daripada musala di Lawang Seketeng.
”Masih perlu penelitian yang lebih mendalam,” paparnya. Dia pun akan menyampaikan kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemerintah Kota Surabaya bahwa ada bangunan yang diduga cagar budaya. ”Agar nanti bisa tercatat sebagai bangunan cagar budaya,” tegasnya.