Batch Pertama Diikuti Enam Peserta agar Lebih Intim
Kesehatan mental masih menjadi hal tabu bagi sebagian orang. Karena itu, belum banyak orang yang mau datang ke psikolog maupun psikiater. Itulah yang melatarbelakangi berdirinya Support Circle Indonesia (SCI) di Surabaya.
KARTIKA SARI, Jawa Pos
MASALAH mental yang dulu dirasakan dua dokter muda Universitas Airlangga, Risyaddina Ihsani Nugraha dan Talitha Yulia Putri Aden, mendorong mereka membentuk Support Circle Indonesia (SCI) di Surabaya. Keduanya menjadi
fasilitator pada grup tersebut. Grup tempat berdiskusi dan berbagi cerita bagi penyintas masalah kejiwaan itu sebelumnya juga dibentuk di Bandung dan Jakarta
J
Grup tersebut sukses mengadakan batch pertama pada 2 Agustus–13 September lalu. Pesertanya memang tak banyak. Hanya enam orang. Sebab, mereka ingin lebih intim dalam berdiskusi. Mereka berasal dari Surabaya dan kota lain. Keenam penyintas masalah kejiwaan yang sudah dikategorikan depresi tersebut memiliki dorongan untuk bunuh diri.
Menurut Addin, sapaan Risyaddina Ihsani Nugraha, para peserta mengikuti grup tersebut karena mereka tak memiliki tempat yang benar untuk bercerita. Tak jarang bila bercerita, mereka malah menerima judging yang tidak sesuai dengan harapan. Misalnya, ketika mereka curhat soal kecemasan yang melampaui batas, orang lain malah menghakimi bahwa mereka hanya berlebihan dalam menghadapi kehidupan.
Ada enam sesi yang harus diikuti peserta setiap minggu. Mereka harus mengikuti secara berkelanjutan. Sebelum dimulainya sesi, mereka harus berjanji untuk mengikuti diskusi itu hingga sesi terakhir. Sesi pertama dan kedua merupakan perkenalan. Pada sesi tersebut, para peserta dipersilakan untuk memperkenalkan diri dan menceritakan kehidupannya. Termasuk permasalahan yang menjadi gangguan terbesar dalam hidup mereka. ”Di bagian ini mereka cukup sulit menceritakan apa permasalahan mereka,” kata Addin. Masalah dan luka lama yang begitu besar hingga sangat berdampak di sepanjang hidup itulah yang membuat mereka sulit memulai cerita. Apalagi mereka tidak kenal satu sama lain. Pikiran untuk tidak sharing cerita kepada orang baru pun sempat terlintas di pikiran mereka.
Namun, kecanggungan itu akhirnya meleleh saat mereka tiba di sesi III. Pada saat sesi tersebut, para fasilitator memberi mereka nasihat bagaimana cara menerima keadaan diri masingmasing. Meski mereka tidak bisa bebas dari masalah hidup yang terus menghantui, rasa legawa perlu ditumbuhkan. Agar tidak semakin membebani pikiran.
Selanjutnya, sesi keempat berupa motivasi. Motivasi itu tidak terkesan menggurui. Sebab, seperti di awal, para peserta hanya ingin ceritanya didengar. Bukan untuk mendapatkan saran dan nasihat. Sesi V bermain dengan board game. Pada sesi tersebut, dihadirkan psikiater dr Damba Bestari SpKJ. Terakhir, sesi VI penutup atau rekap sesi dari awal yang dilanjutkan dengan meditasi. Setiap sesi selesai, peserta harus menulis progres yang mereka alami. Misalnya, apakah sesi yang baru saja diikuti memberikan manfaat atau malah menimbulkan kemunduran. ”Kalau memang ada kemundurannya, ya ditulis saja,” kata Talitha.
Setiap sesi, lanjut dia, memang mengharuskan peserta untuk selalu bercerita. Dia dan Addin selalu memberikan nasihat sesuai tugasnya sebagai fasilitator. ”Namun, nasihatnya berdasar apa yang pernah kami rasakan,” paparnya.
Akhirnya, sesi yang setiap peserta hanya diberi waktu setengah jam biasanya molor hingga satu jam. ”Maklum, mereka keasyikan cerita,” ucap Addin. Pada sesi tersebut, tidak ada peserta yang malu menceritakan soal dirinya.
Ternyata, kata Addin, masalah yang dihadapi para peserta lebih besar daripada yang dihadapi dirinya selama ini. Dia pun lebih membuka mata lebar-lebar saat mengetahui sebagian besar peserta mengalami masalah kejiwaan yang ekstrem. ”Ada salah satu peserta yang depresi karena pelecehan seksual,” tuturnya.
Setelah mengikuti grup tersebut, para peserta mengaku telah menurunkan keinginan untuk bunuh diri. Hal itu diketahui dari form yang wajib diisi peserta pada akhir sesi. Lalu, dibandingkan dengan form yang diisi pada awal sesi. ”Hasilnya, setelah mengikuti SCI, keinginan bunuh diri peserta menurun 37,5 persen dan tingkat depresi menurun 75 persen,” papar dia.