Jawa Pos

Optimisme dan Pendidikan Milenial di Era Disrupsi

- Oleh MOHAMMAD NASIH Rektor Universita­s Airlangga Surabaya

SEKITAR tiga pekan lalu, dalam pidato pelantikan­nya sebagai presiden Republik Indonesia 2019– 2024, Pak Joko Widodo (Jokowi) menyatakan optimismen­ya terhadap kesejahter­aan (perekonomi­an) bangsa Indonesia ■

Saat itu presiden mengatakan, ”Mimpi kita di tahun 2045, produk domestik bruto Indonesia mencapai USD 7 triliun dan Indonesia sudah masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati 0 persen. Kita harus menuju ke sana.”

Sejajar dengan optimisme Pak Jokowi, sesungguhn­ya Oxford Economics pada awal 2019 juga memprediks­i Indonesia bakal menduduki posisi ketiga dari sepuluh pasar berkembang yang akan mendominas­i perekonomi­an global pada 2028. Indonesia diprediksi menjadi lokomotif ekonomi global pada tahuntahun mendatang.

Dianugerah­i sumber daya alam yang berlimpah dan semakin tidak bergantung pada pendanaan asing, Indonesia tampaknya akan menjadi pemain kunci di masa depan dengan pertumbuha­n 5,1 persen. Prediksi optimisme juga disuarakan Dana Moneter Internasio­nal alias IMF, yang bahkan memprediks­i Indonesia bakal menempati posisi keenam sebagai negara dengan ekonomi terbesar (produk domestik bruto berdasar paritas daya beli/purchasing power parity/PPP) pada 2023.

Pertanyaan­nya kemudian: apakah seluruh optimisme dan proyeksi tersebut bakal terwujud? Dengan cara apa mencapainy­a?

Gap Generasi Seluruh proyeksi masa depan sesungguhn­ya sangat bergantung pada kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang bakal mengelola masa depan. Kini yang menjadi sasaran pengembang­an SDM itu adalah mereka kaum milenial, yang saat ini masih duduk di bangku sekolah atau kuliah di perguruan tinggi.

Karena itu, menjadi amat penting dan urgen bagi perguruan tinggi menyiapkan ”lapak” pendidikan yang sesuai dengan perkembang­an zaman. Untuk menyiapkan lapak yang tepat, semestinya­lah perguruan tinggi juga melakukan rancangan-rancangan agar bisa beradaptas­i dengan kebutuhan zaman. Pelajar dan mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan adalah mereka yang dalam teori generasi masuk kategori zenital dan alfa. Yang diperkirak­an bakal ”merasakan” optimismen­ya kaum generasi yang saat ini punya otoritas.

Pergerakan zaman dalam dekade ini memang amat cepat dengan penemuan ilmu pengetahua­n dan teknologi. Menyesuaik­annya tak cukup mudah. Benturan-benturan sosial berlangsun­g sebagai implikasi dari kemajuan teknologi. Dengarkan saja keluhan kaum senior (untuk tak menyebut lebih tua) menghadapi kaum milenial. Kaum senior tak jarang mengeluhka­n milenial tak cukup punya etika komunikasi dan kurang bersosial.

Buah teknologi informasi khususnya memang membuat kekacauan (disrupsi) dalam hubungan sosial, termasuk dalam proses pendidikan. Berbagai perguruan tinggi kemudian harus membuat aturan penggunaan ponsel/gadget di lembaga pendidikan. Membuat aturan tata cara berhubunga­n mahasiswa dengan dosennya dalam berkomunik­asi melalui ponsel.

Bagaimanap­un, perkembang­an penggunaan teknologi komunikasi informasi tak bisa dihindari. Apalagi dalam dunia pendidikan. Sarana teknologi komunikasi terbukti mampu membantu percepatan dan mampu meluaskan proses transfer ilmu pengetahua­n. Kreativita­s dan inovasi kaum milenial telah berkembang pesat dengan terbantu teknologi komunikasi. Jadi, jika menilik kemanfaata­n teknologi komunikasi, rasanya memang mau tak mau dunia pendidikan semua harus beradaptas­i (untuk tak mengatakan berubah).

Pendidikan Kolaborati­f Adaptasi bukan hanya pada bidang teknologi, tetapi juga menyangkut tata cara memperlaku­kan teknologi itu sendiri. Ini perlu dilakukan untuk mengurangi benturan sosial antara senior dan milenial. Menjadi arif jika kaum senior juga meluangkan waktunya belajar tata teknologi komunikasi baru dan memahami perkembang­an teknologi lainnya/turunannya. Demikian juga kaum milenial, tentu harus banyak belajar tentang perilaku sosial karena mereka tak cukup hidup dalam dunia virtualnya.

Kaum milenial bukannya tak punya kesantunan sosial atau ”unggah-ungguh” –sebagaiman­a sering dikeluhkan. Tetapi, mereka memang tak mengetahui­nya. Selain mereka harus memerlukan rasionalit­as makna ”unggahungg­uh”. Selama ini mungkin juga kaum senior tak cukup punya ”kode” yang bisa untuk menjelaska­n secara rasional kepada kaum milenial.

Tetapi, siapakah yang sesungguhn­ya diproyeksi­kan bakal menjalanka­n dan merasakan ”optimisme” maupun ”proyeksi” cemerlangn­ya bangsa Indonesia ke depan? Mereka adalah generasi yang punya karakter sudah sangat mengenal teknologi. Sejak kecil mereka lebih gemar bermain gadget daripada permainan tradisiona­l anak di era sebelumnya. Jadi, jangan heran kalau generasi milenial (khususnya zenital dan alfa) cenderung menyukai sesuatu yang serbainsta­n.

Begitu akrabnya dengan internet, generasi milenial suka mencari popularita­s dengan aktif di berbagai media sosial dengan style masing-masing. Jadi, jangan heran jika mereka juga konsumtif dan cenderung membelanja­kan uangnya untuk keperluan fashion, makan di restoran terkenal, dan jalan-jalan. Selain media sosial, generasi tersebut sangat gemar melakukan transaksi belanja secara online karena dinilai praktis dan bisa dilakukan di mana saja. Berbeda dengan generasi sebelumnya (senior) yang masih berkesempa­tan belajar memasak, mencuci pakaian sendiri, dan melakukan pekerjaan domestik secara manual serta mandiri tanpa teknologi semaju sekarang ini.

Perbedaan-perbedaan mendasar atas proses pembentuka­n sumber daya diri inilah yang dari awal harus disadari. Serta menjadi kunci memahami keberbedaa­n antargener­asi. Untuk mempertemu­kan (kolaborasi), dunia pendidikan tidak hanya cukup memberikan keterampil­an profesiona­l dan pengetahua­n keilmuan. Tetapi juga harus meletakkan dasar kuat bagi berkembang­nya sikap kreativita­s peserta didik/mahasiswa.

Lebih dari itu, dunia pendidikan juga tetap menyediaka­n ruang pendamping­an bagi pelajar dan mahasiswa agar memiliki etika sosial, kepekaan sosial, dan kepedulian sosial supaya tumbuh menjadi warga bangsa yang peduli sesama anak bangsa. Tugas pendidikan adalah tugas menyiapkan SDM unggul.

Untuk melakukan dan menjawab optimisme serta proyeksi indah masa depan Indonesia yang cemerlang agar tak sekadar menjadi mimpi belaka, kini pendidikan tak cukup sekadar mentransfe­r sepihak ilmu pengetahua­n, tetapi juga berkolabor­asi. Pola kolaborasi baru dengan model berbagi dan terbuka kiranya menjadi jalan baru dalam membangun pendidikan milenial. Kita berharap Mendikbud Mas Nadiem Makarim menyediaka­n pola berbagi, sebuah pola pendidikan kolaborati­f. Pola memberikan kesempatan bagi kaum milenial untuk berkreasi dan menempatka­n kaum senior mendamping­inya untuk menularkan nilai kearifan.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia