Giliran Pendukung Aktivitas GJT Berunjuk Rasa
GRESIK, Jawa Pos – Aktivitas PT Gresik Jasa Tama (GJT) kembali memicu polemik antarwarga. Kemarin (14/11) giliran sekelompok massa berunjuk rasa untuk menyuarakan agar perusahaan kembali beroperasi. Sebelumnya, ada warga yang beraksi dengan tuntutan agar perusahaan bongkar muat curah kering itu ditutup. Sebab, aktivitas tersebut dinilai memicu polusi debu.
Menurut Thohirin, koordinator aksi, pihaknya tidak melarang PT GJT untuk tetap beroperasi. Tapi, perusahaan bersangkutan harus tetap memperhatikan dan memperbaiki polusi. ’’Kalau tidak ada perbaikan polusi debu, kami datang ke sini lagi,’’ ujarnya mewakil warga yang tergabung dalam forum tingkat kecamatan.
Dia menyatakan, aktivitas bongkar muat batu bara oleh PT GJT sudah menjadi kebutuhan vital. Sedikitnya, perusahaan itu menyuplai keperluan bahan bakar untuk delapan perusahaan. ’’Kalau tidak ada suplai batu bara, pabrik bisa tidak beroperasi. Tentu dampaknya akan banyak pengangguran,’’ dalih Thohirin.
Selain itu, lanjut dia, tentu ada ratusan sopir dump truck pengangkut batu bara yang juga menganggur. ’’Padahal, mereka harus menghidupi anak dan istrinya,’’ imbuh mantan anggota DPRD Gresik tersebut.
Dia menambahkan, masyarakat terdampak operasional aktivitas bongkar muat selama ini telah mendapatkan perhatian dari perusahaan. ’’Di antaranya, pengobatan, santunan untuk anak yatim dan para janda,’’ ujarnya.
Seperti diketahui, sejak 4 November 2019, operasioanal GJT mandek. Sebab, ada penolakan warga terhadap aktivitas perusahaan. Massa melarang semua aktivitas bongkar muat dari terminal curah kering oleh GJT. Selain itu, massa mendesak manajemen agar GJT segera merelokasi usahanya ke kawasan Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di wilayah Manyar.
Dermaga dan bongkar muat PT GJT berdiri sejak 1994. Namun mulai beroperasi pada 2005 sebagai pelabuhan kering pertama di Gresik. Berdasar data yang didapat Jawa Pos, perusahaan tersebut didirikan
Surya Riyadi dan Rudy D. Siaputra. Perusahaan itu berdiri di atas lahan reklamasi dengan luas 8,3 hektare di sekitar Kelurahan Kemuteran, Kroman, dan Lumpur.
Beberapa warga sekitar mengungkapkan, dampak aktivitas bongkar muat tersebut adalah munculnya polusi debu kehitaman. Saat perusahaan masih beroperasi, debu-debu itu juga masuk ke rumahrumah warga. ’’Kalau tidak di sapu beberapa hari, debu bisa setinggi 1 sentimeter. Kalau jemur baju putih di luar, juga pasti terkena,’’ cerita warga.