Pamerkan Karya Seni Bikinan Anak-Anak
Ide mendirikan galeri khusus anak-anak juga terlintas tak lama setelah sanggar tersebut berdiri. Yakni, ketika melihat sebagian anak binaan pandai melukis. ”Saya berpikir, wayang atau peralatan untuk pertunjukan bisa dibuat sendiri. Semua kembali ke anakanak jika mereka melakukan pertunjukan,” ucap alumnus farmasi Universitas Surabaya itu.
Indra pun memutuskan untuk menggali lebih dalam potensi seni mereka. Mulai seni lukis, batik, hingga pembuatan berbagai mozaik. Beberapa di antaranya bahkan dibina langsung oleh yang profesional. Usahanya tidak sia-sia. Salah satu anak binaannya, Eka Sumarlin, menunjukkan bakatnya denganmaksimal.Diamenghasilkan seratus motif batik pada 2014.
Masyarakat pun mulai merespons keberadaan Sanggar Cakra. Mulai banyak yang menanyakan karya anak-anak binaan. Satu per satu karya mereka mulai bernilai jual. Tidak cukup puas, Indra mulai berpikir untuk menggandeng beberapa sekolah terdekat untuk ikut program binaan Sanggar Cakra. ”Saya ingin menularkan semangat mencintai seni budaya tidak hanya untuk anak-anak sekitar, tapi untuk semuanya karena mereka generasi penerus,” ujar perempuan kelahiran 1981 itu.
Pada 2017, beberapa turis asing dan ekspatriat juga mulai tertarik pada karya anak-anak tersebut. Bahkan, mereka membayar dengan mata uang dolar. Awal 2019, salah satu perwakilan pemerintah India di bidang seni dan budaya mengunjungi sanggar tersebut. Dia pun menawari Indra untuk bekerja sama. Karya anak-anak itu akan dipamerkan di negaranya.
”Dari situlah, ide pendirian galeri khusus semakin kencang,” ucap perempuanberdarahBaliitu.Indra dan timnya yang berjumlah dua puluhorangmulaimelebarkansayap ke sekolah-sekolah sekitar. Mereka memberipelatihandanpengajaran senidanbudaya.Denganharapan, karyaseniyangterkumpuljugaberasal dari siswa-siswi sekolah tersebut.
Kini galeri tersebut sangat heterogen. Bukan hanya karya anak-anak binaan, tetapi juga berasal dari warga sekitar. Selain itu, sudah terkumpul karya siswasiswi dari berbagai sekolah. Awalnya hanya satu sekolah, sekarang sudah ada sepuluh sekolah tetap yang menjadi mitra mereka. Mulai SD hingga SMA/SMK.
Menurut Indra, sebelum ada galeri, karya anak-anak hanya tersimpan di rumah atau sekolah. Beruntung jika masih tersimpan baik. Banyak juga yang tidak terawat lantaran hanya disimpan begitu saja. Dia ingin karya anakanak bisa terwadahi di satu tempat. Yang terjamin keamanan, keaslian, dan perawatannya.
Ketika ditanya mengenai kesulitan apa saja yang dihadapi, Indra menyebut bahwa masih banyak anak yang sangat asing dengan seni budaya. Dia pun menemukan beberapa sekolah yang bahkan siswanya tidak tahu mengenai wayang, lagu tradisional, dan kesenian tradisional. ”Sekarang malah mereka sangat senang membatik dan bisa menyanyi Suwe Ora Jamu,” imbuhnya.
Selain itu, karakter anak yang berbeda-beda membuat dia dan tim harus bisa melakukan pendekatan psikologis yang pas. Misalnya, pada anak-anak binaan dari warga sekitar yang dulu termasuk kampung kumuh. Sebagian merupakan anakanak yang sempat terlibat kenakalan remaja.
Art Gallery Kid Cakra Surabaya juga mengutamakan pelestarian lingkungan. Beberapa bahan yang mereka gunakan merupakan hasil daur ulang. Misalnya, botol bekas.