Jalan Berliku Perlindungan Hakim
KORPS Cakra dirundung duka. Nyawa hakim tak punya harga. Meski dijuluki wakil Tuhan, potret buram pengadil yang dibunuh bukan berita asing di telinga kita. Berita teranyar, seorang hakim di Pengadilan Negeri Medan, Jamaluddin, tewas dengan tragis. Mayatnya ditemukan di sebuah mobil di areal kebun sawit Desa Suka Rame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (29/11). Hingga kini, kepolisian masih memburu pelaku pembunuhan.
Tindakan mengancam, membunuh, menyerang, dan mengintervensi hakim, pada satu sisi, merongrong kewibawaan hakim dan independensi peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka. Proses penegakan hukum dan ketenangan hakim dalam bekerja terganggu. Putusan yang seharusnya lahir dari proses pergulatan nalar yang sehat dan nurani hakim yang jernih justru dibayang-bayangi tekanan dan aksi premanisme.
Pada sisi lain, semua rentetan peristiwa tersebut mengonfirmasi bahwa tatanan adab berhukum kita masih rapuh. Hal itu dibuktikan dengan menguatnya aksi primitif dalam merespons putusan pengadilan dengan menjadikan hakim sebagai target pelampiasan emosi. Tak puas atas putusan hakim, misalnya, otot yang bicara.
Masih segar dalam ingatan bagaimana seorang pengacara berinisal DC memukul hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan ikat pinggang lantaran tak puas atas putusan hakim. Itu menandakan bahwa kaum yang terpelajar dan mengerti hukum saja bisa dengan mudah menyerang hakim. Atas kejadian itu, kita makin percaya betapa lemahnya kualitas perlindungan keamanan terhadap Korps Cakra. Persidangan yang berwibawa kini tak aman lagi.
Karena itu, perlu penguatan jabatan hakim secara holistik, baik dari sisi perlindungan fisik, kemerdekaan dalam memutus perkara, jaminan tidak dipidana karena putusannya, garansi kesejahteraan, maupun penguatan sumber daya, agar putusan yang dihasilkan mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Semua itu tentu bisa terwujud manakala RUU Jabatan Hakim yang notabene tak kunjung dirampungkan DPR mampu menjawab semua persoalan tersebut. Perlindungan keamanan hakim, misalnya, menjadi salah satu isu darurat yang patut menjadi perhatian berbagai pihak, baik KY, pemerintah, maupun DPR.
Beberapa langkah korektif perlu dirumuskan sebagai bagian dari desain besar mewujudkan badan peradilan yang merdeka dan berwibawa. Pertama, RUU Jabatan Hakim harus steril dari motif kepentingan politik pragmatis. Sebagai produk legislasi, RUU tersebut secara filosofis harus benar-benar mencerminkan penguatan kedudukan hakim dari berbagai aspek. Aturan tentang contempt of court, misalnya, hendaknya diformulasikan secara jelas dan tegas unsur-unsurnya agar tidak multitafsir. Dengan demikian, segala potensi ancaman, ucapan, serta tindakan yang merongrong kewibawaan hakim bisa dicegah.
Nasir Djamil dalam seminar nasional bertajuk Peran UndangUndang Contempt of Court dalam
Perlindungan Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri dan Bebas dari Segala Pengaruh dan Ancaman (1/8) menyatakan, RUU Contempt of Court yang sejak lima tahun lalu diajukan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) ke DPR belum mendapat respons yang serius untuk dibahas sebagai produk legislasi.
Persoalan itu mengonfirmasi bahwa keberpihakan wakil rakyat secara politik terhadap independensi kekuasaan kehakiman masih rendah. Ketika isu hakim diserang atau dianiaya menjadi isu nasional, barulah para anggota dewan di Senayan tergopohgopoh memberikan komentar, argumen ilmiah di meja seminar, yang ujungnya pesan itu hanya berhenti di podium orasi alias ruang hampa. Belum ada tindak lanjut yang serius sebagai sebuah politik keberpihakan terhadap kekuasaan kehakiman.
Kedua, pengamanan polisi di pengadilan selama ini hanya sebatas pada kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan berpotensi menimbulkan kericuhan. Padahal, potensi konflik yang mengancam nyawa hakim maupun pihak pencari keadilan bisa timbul kapan saja. Karena itu, pengamanan di persidangan di berbagai pengadilan harus diperketat dengan melibatkan pihak kepolisian.
Ketiga, Komisi Yudisial (KY) harus berperan aktif mengawal dan menjaga martabat serta wibawa hakim. Tidak hanya garang menindaklanjuti pelanggaran hakim, tapi juga aktif melindungi hakim dalam melaksanakan tugasnya. Berdasar pasal 20 ayat (1) huruf e UU Nomor 18 Tahun 2011, KY berwenang mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan serta keluhuran martabat hakim. Tatkala terjadi pembiaran hakim diintimidasi tanpa pembelaan dari KY, independensi yang menjadi prasyarat negara hukum dan dijamin konstitusi tersebut hanyalah utopia.
Keempat, perlunya penguatan etika profesi hukum, termasuk advokat yang notabene sebagai officium
nobile. Dalam pasal 8 huruf (a) Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa profesi advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat
(officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum berada di bawah perlindungan hukum, undangundang, dan kode etik.
Karena itu, advokat yang menghina pengadilan tidak hanya diproses secara pidana, tetapi juga diselesaikan melalui forum etik organisasi. Hukuman terberatnya adalah pencabutan lisensi beracara. Hal itu penting ditegakkan supaya preseden memalukan tersebut tak terjadi lagi dalam lanskap penegakan hukum kita.
Hormati Independensi
Negara kita terikat oleh parameter tentang prinsip-prinsip dasar independensi pengadilan yang berlaku secara internasional. Prinsip universal tersebut, salah satunya, memutus perkara secara imparsial. Pengejawantahan prinsip tersebut adalah hakim tidak boleh memihak siapa pun. Di samping itu, prinsip lain adalah hakim memutus berdasar fakta-fakta dan sesuai dengan aturan hukum.
Semua prinsip tersebut dapat dijalankan dengan baik manakala proses persidangan juga berjalan dengan baik tanpa kendala (without
any restrictions) dan tak ada yang menghalang-halangi. Jika tak puas atas putusan hakim, bisa ditempuh upaya hukum yang lebih tinggi. Norma universal itu harus dipatuhi agar bangunan hukum kita lebih beradab. (*)
Tatkala terjadi pembiaran hakim diintimidasi tanpa pembelaan dari KY, independensi yang menjadi prasyarat negara hukum dan dijamin konstitusi tersebut hanyalah utopia.”