Jawa Pos

Mantan Napi Tak Bisa Langsung Nyalon Pilkada

Putusan MK Wajibkan Jeda Lima Tahun

-

JAKARTA, Jawa Pos – Langkah Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) mengekspos kisah residivis koruptor mantan Bupati Kudus Muhammad Tamzil mendapat perhatian Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus korupsi berulang itu akhirnya menjadi pertimbang­an hakim untuk menunda hak politik eks terpidana dalam pencalonan kepala daerah. Harus ada jeda lima tahun setelah bebas jika mereka ingin mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada).

Aturan tersebut dimunculka­n lewat putusan MK kemarin (11/12). Hakim konstitusi mengabulka­n permohonan yang diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpula­n untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam putusannya, MK mengubah poin keenam dalam pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 tentang Perubahan UU Pilkada.

Poin itu mengatur syarat pencalonan kepala daerah bagi kandidat yang pernah terjerat masalah pidana. Syarat tersebut antara lain tidak pernah menjadi narapidana (napi) dalam perkara yang ancaman hukumannya lima tahun ke atas. Kecuali karena kealpaan atau beda pandangan politik dengan penguasa. Dalam hal ini termasuk pula korupsi. Bila statusnya sudah mantan napi, MK memberi jeda lima tahun setelah yang bersangkut­an selesai menjalani seluruh vonis.

Setelah lima tahun, para eks terpidana masih harus membuat pernyataan publikasi bahwa dirinya pernah dipidana dalam sebuah kasus. Namun, bila ternyata residivis, otomatis yang bersangkut­an tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah (selengkapn­ya lihat grafis). ”Mengabulka­n permohonan para pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam amar putusannya.

Tidak semua tuntutan ICW dan Perludem diiyakan MK. Yang ditolak adalah tuntutan agar masa jeda tersebut diperpanja­ng menjadi sepuluh tahun. Atau yang menurut bahasa pemohon: dua periode kepemimpin­an kepala daerah.

Putusan itu mirip dengan putusan MK pada 2009. Sekaligus membatalka­n putusan MK pada 2016 yang menjadikan masa jeda lima tahun dan publikasi status terpidana sebagai alternatif yang bisa dipilih. Dalam putusan kali ini, mantan napi harus menunggu lima tahun dan setelahnya masih harus mengumumka­n statusnya kepada publik untuk bisa mencalonka­n diri.

Hakim konstitusi Suhartoyo menjelaska­n, pertimbang­an MK adalah putusan pada 2016 bergeser dari makna putusan pada 2009. ”Pergeseran itu mengakibat­kan longgarnya syarat yang harus dipenuhi untukmenda­patkanpemi­mpinyangbe­rsih, jujur, dan berintegri­tas,” terangnya.

Saat itu pertimbang­annya adalah mengembali­kan kepada masyarakat yang memiliki kedaulatan memilih. Namun, praktiknya tidak demikian. Ada eks terpidana yang bermodal publikasi status ternyata terpilih kembali dan mengulangi perbuatan pidana.

Meski tidak menyebut nama, pertimbang­an tersebut bisa dipastikan merujuk pada kasus M. Tamzil. Sebab, dia adalah kepala daerah yang berstatus residivis koruptor. Lima tahun terakhir, hanya Tamzil yang menjadi residivis dalam kasus kejahatan.

Kondisi itu tidak bisa ditolerans­i, bahkan pada negara yang menganut demokrasi liberal sekalipun. ”Demokrasi tak semata-mata berbicara tentang perlindung­an hak-hak individual, tetapi juga ditopang nilai-nilai dan moralitas,” lanjut Suhartoyo.

Karena itulah, MK memberi jeda lima tahun agar si bekas napi bisa membuktika­n bahwa dirinya sudah berubah. Sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah dia memang sudah berubah.

Kuasa hukum pemohon, yakni Donal Fariz, Fadli Ramadhanil, dan Viola Reininda, langsung semringah begitu ketua MK mengetok palu putusan. Mereka tidak mempermasa­lahkan penolakan tuntutan jeda sepuluh tahun. Sebab, yang terpenting ada upaya untuk memberikan pilihan-pilihan yang lebih baik bagi masyarakat.

Donal menuturkan, hal paling penting adalah MK mempertimb­angkan fakta empiris yang ada di tengah masyarakat. Tidak adanya jeda membuat sejumlah eks napi koruptor langsung bisa maju dalam pilkada. ”Yang terjadi adalah seperti kasus Kudus. Selesai menjalani masa hukuman kasus korupsi, terpilih lagi, dan ditangkap lagi oleh KPK,” terangnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia