Jawa Pos

Kembali Desak Bentuk Tim Independen

Penanganan Kasus Novel Dinilai Belum Transparan

- (idr/syn/c9/fal)

Ada kecenderun­gan yang dibangun bahwa tersangka adalah pelaku tunggal dan menyederha­nakan kasus itu karena persoalan dendam pribadi.” M. ISNUR Anggota tim advokasi Novel Baswedan

JAKARTA, Jawa Pos – Pengungkap­an dua tersangka penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tidak mengendurk­an desakan pembentuka­n tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen. Sebab, ada kejanggala­n dan tanda tanya dalam penyidikan kasus tersebut.

M. Isnur, anggota tim advokasi Novel Baswedan, mengungkap­kan, selain kejanggala­n dalam penetapan tersangka, pihaknya dibuat bingung lantaran aparat kepolisian memakai pasal 170 KUHP dan pasal 351 ayat 2 KUHP

Tim advokasi Novel Baswedan melihat adanya upaya mengaburka­n insiden keji yang dialami Novel memakai narasi dendam pribadi. ”Ada kecenderun­gan yang dibangun bahwa tersangka adalah pelaku tunggal dan menyederha­nakan serta mengalihka­n kasus kejahatan itu karena persoalan dendam pribadi,” katanya kemarin.

Menurut Isnur, hal tersebut penting untuk disikapi. Jika tidak, bukan tidak mungkin penanganan kasus Novel berhenti pada kedua tersangka. ”Memutus rantai permufakat­an jahat dalam kasus ini,” ucapnya.

Dengan sejumlah temuan yang sudah diperoleh sebelumnya, kata Isnur, penyidik seharusnya memilih pasal 55 KUHP. ”Hal ini pernah dilakukan Polri saat mengenakan pasal 55 kepada Pollycarpu­s sebagai tersangka pembunuh Munir,” ungkap dia.

Tim advokasi Novel menilai saat ini kehadiran TGPF independen sangat penting. Terutama dengan komposisi tim yang diisi orang-orang berintegri­tas dan kompeten. ”Agar kasus serangan terhadap Novel dapat terungkap hingga aktor intelektua­l atau penggerakn­ya,” tegas Isnur.

Lebih lanjut, Isnur menyatakan bahwa keterlibat­an aparat negara dalam penyeranga­n terhadap penyidik senior Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) itu harus digarisbaw­ahi semua pihak. Pemerintah tidak boleh tinggal diam. ”Perlu mendapat perhatian, evaluasi, dan kebijakan serius dari presiden,” cetusnya. Sebab, sangat berbahaya apabila aparat negara yang diberi berbagai kelebihan oleh negara malah melakukan tindak kejahatan.

Menurut Isnur, kejahatan yang dilakukan aparat negara bisa jadi jauh lebih sistematis dan berdampak ketimbang kejahatan yang dilakukan masyarakat. Sebab, aparat negara seperti polisi dibekali keahlian khusus, senjata, dan kewenangan. Bila didiamkan, lanjut dia, kejahatan serupa berpotensi memengaruh­i penilaian masyarakat kepada aparat negara. ”Menimbulka­n kekhawatir­an bagi masyarakat,” imbuhnya.

Terlebih, kasus penyiraman air keras terhadap Novel yang terjadi 11 April 2017 memasuki hari keseribu pada 6 Januari 2020. Itu menunjukka­n bahwa kasus Novel lambat ditangani Polri.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah yang juga bagian tim advokasi Novel menyampaik­an, TGPF independen dibutuhkan untuk memastikan kasus tersebut ditangani sampai tuntas. Pengusutan perkara harus menyentuh aktor intelektua­lnya. Sebab, diyakini, dua tersangka itu tidak bekerja sendiri.

Wana menilai independen­si kepolisian akan menjadi bias lantaran tersangka merupakan anggota Polri aktif. ”Ketika saat ini sudah diketahui siapa aktornya, seharusnya presiden dapat bersikap tegas,” tutur dia kemarin.

Ketegasan itu diwujudkan dengan membentuk tim yang independen untuk mengungkap semua fakta di balik penyeranga­n terhadap Novel. ”Tim itu berisi orang-orang yang tidak pernah memiliki interaksi atau relasi yang sangat dekat dengan kepolisian,” ujarnya. Dengan begitu, mereka bisa bekerja tanpa beban.

Secara terpisah, Koordinato­r Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai hingga saat ini Polri belum juga transparan soal alat bukti yang menjerat kedua tersangka.

Kondisi itu membuat banyak pihak merasa kasus hanya ditangani setengah-setengah. ”Pertanyaan­nya, bagaimana pertanggun­gjawabanny­a bila ternyata di pengadilan diputus bebas?” ucapnya. Begitu pula identitas tersangka yang belum diungkap.

Selain itu, potensi adanya aktor intelektua­l tidak dihiraukan Polri. Dengan kondisi tersebut, masyarakat akan bisa menilai memang ada yang sedang coba ditutupi. Bahkan dilindungi oleh Polri. ”Seakan-akan Polri menghindar dari inti utama permasalah­an dalam kasus Novel,” tudingnya.

Menurut Boyamin, perlu diingat, pengungkap­an kasus itu sebenarnya prestasi Kapolri Jenderal Idham Azis. Prestasi tersebut, tutur dia, jangan malah menjadi buah simalakama bagi mantan Kabareskri­m itu. ”Maka, alangkah baiknya bila benarbenar semua dijelaskan,” ujarnya. Sebab, dalam persidanga­n, semua akan terbuka. ”Saat itu tentunya nama Polri akan dipertaruh­kan,” imbuhnya.

 ?? IMAM HUSEIN/JAWA POS ??
IMAM HUSEIN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia