Jawa Pos

Politik Uang dan Politisasi SARA Mendominas­i

Bawaslu Rilis Masalah Pemilu Sepanjang 2019

-

JAKARTA, Jawa Pos – Tahun 2019 mendapatka­n catatan tersendiri dari Bawaslu. Khususnya karena tahun ini Indonesia menyelengg­arakan pemilu serentak. Sejumlah catatan mengenai dinamika yang terjadi harus menjadi pelajaran. Agar tidak sampai terulang pada pelaksanaa­n pilkada serentak 2020.

Ada sedikitnya tiga catatan besar dalam dinamika Pemilu 2019 yang perlu menjadi perhatian publik. Yang pertama adalah politik uang, kemudian politisasi SARA dan tentu saja berita bohong atau hoax. Ketiganya punya potensi besar dalam merusak tatanan demokrasi yang sudah berjalan di tanah air.

Sepanjang Pemilu 2019, Bawaslu menangkap tangan sedikitnya 25 kasus politik uang. Kebanyakan terjadi menjelang hari H pemungutan suara. Terjadi di 25 kabupaten/kota di 13 provinsi. Barang buktinya tidak melulu uang. Bisa berupa detergen hingga sembako. Temuan uang terbesar terjadi di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yakni Rp 190 juta.

Ketua Bawaslu Abhan menjelaska­n, politisasi SARA dan politik uang memang cukup marak terjadi sepanjang tahun ini. ”Ini tugas berat bagi pelaksanaa­n demokrasi di Indonesia,” tuturnya kemarin (30/12). Sekaligus peringatan dini bagi pelaksanaa­n pilkada 2020 agar mengambil pelajaran dari Pemilu 2019.

Menurut Abhan, dua problem tersebut tidak bisa hanya dipasrahka­n kepada penyelengg­ara pemilu untuk ditanggula­ngi. Justru peran paling utama ada di masyarakat. ”Terutama tokohtokoh lintas agama untuk bisa tidak menggunaka­n idiom agama demi kepentinga­n politik praktis,” lanjut mantan ketua Bawaslu Provinsi Jawa Tengah itu.

Untuk politisasi SARA, tutur Abhan, yang paling sulit adalah pembuktian­nya. Khususnya ketika kasusnya harus masuk ranah hukum. Padahal, barangnya ada dan tersebar di berbagai platform. Belum ada pula yang sampai mendapatka­n vonis hakim. Yang lebih banyak disidangka­n adalah yang menjurus pada hoax seperti fitnah terhadap peserta pemilu.

Sementara itu, untuk politik uang, pada pemilu yang sulit adalah mengungkap aktor intelektua­l. Terlebih, undang-undang membuat definisi yang terbatas tentang siapa pelaku yang bisa dijerat. Yakni pelaksana, peserta, atau tim kampanye peserta pemilu. Sementara, bagi peserta pemilu, pelanggara­n politik uang harus disertai bukti bahwa itu terjadi secara terstruktu­r, sistematis, dan masif.

Lain halnya dengan pilkada yang menurut Bawaslu pengaturan­nya lebih tegas soal politik uang. ”Di Undang-Undang Pilkada, yang memberi dan yang menerima bisa dipidana,” ungkapnya. Selain itu, subjek hukumnya diperluas menjadi siapa pun. Bukan hanya tim kampanye, tapi bisa juga peserta pilkada.

Meskipun demikian, Abhan menegaskan tidak akan secara khusus menarget peserta pilkada. Pihaknya akan mengutamak­an pencegahan. Baru setelahnya, bila pencegahan sudah dianggap cukup, ketika ada kejadian, ada tindakan hukum yang diambil. Bila memang terbukti, calon kepala atau wakil kepala daerah bisa didiskuali­fikasi dari kontestasi.

Selain politisasi SARA dan politik uang, hoax juga menjadi ancaman tersendiri. Apalagi, pada pilkada mendatang isunya ada di tingkat lokal. ”Kami akan samakan standar penanganan untuk semua jajaran,” tambahnya. Tentu saja, pihaknya juga bekerja sama dengan Polri, Badan Siber dan Sandi Negara, hingga Kementeria­n Kominfo.

 ?? GRAFIS ADITYA/JAWA POS ??
GRAFIS ADITYA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia