Pendidikan Harus Fleksibel, Menyesuaikan Industri
Dua bulan menjabat, sudah menggebrak dengan Merdeka Belajar, mengganti USBN dengan ujian kelulusan yang dikelola sekolah, mengganti ujian nasional (UN) dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, serta melonggarkan kuota jalur prestasi pada sistem zonasi. Lalu, arah kebijakan pendidikan pada pendidikan tahun depan? Dan, mengapa banyak kebijakan pendidikan 2019 yang diubah? Berikut obrolan wartawan Jawa Pos Agas Putra Hartanto bersama Mendikbud Nadiem Makarim.
Apa visi pendidikan tahun depan dalam cetak biru (blueprint)?
Ke mana ini arah pendidikan ke depan? (Semua) sedang kami buat. Tapi juga tidak bisa tergesa-gesa. Kami sudah banyak materi, riset, dan hasil, tapi harus dikemas dalam satu strategi yang tepat. Harapannya dalam waktu enam bulan sudah selesai. Membangun road map atau blueprint pendidikan (ke depan) harus flexibility ada di dalamnya. Agar bisa bergerak menyesuaikan perkembangan industri dan zaman.
Pada 2019 Anda mengganti USBN dan UN. Apa pertimbangannya?
Tes atau ujian kelulusan, artinya itulah yang menentukan seorang anak lulus dari SD, SMP, maupun SMA. Kami mengubah yang tadinya memakai istilah berstandar nasional untuk menyerahkan wewenang kepada sekolah dalam menentukan kelulusan. Karena kalau berstandar nasional selama ini cuma pilihan ganda saja. Selain itu, siswa dihadapkan dua ujian untuk lulus. Itu adalah kesalahan.
Penilaian dilakukan oleh sekolah agar lebih variatif menilai siswanya. Agar lebih komprehensif dan holistik dalam menilai.
Bagaimana menilai siswa?
Bisa menggunakan portofolio, menggarap proyek, menulis esai, dan penugasan lainnya. Dari situ guru tidak hanya melihat dari sisi kognitif saja. Tapi proses menghasilkan karya. Siswa berhak dievaluasi secara holistik. Karena sejatinya guru yang mengetahui kebutuhan dan perkembangan anak didiknya sehari-hari.
Apakah asesmen kompetensi minimum dan survei karakter ditentukan Kemendikbud?
Kami yang buat. Jadi, jangan dikira asesmen dikembalikan ke sekolah. Tidak. Itu tes kami untuk tolok ukur nasional. Ingat, yang diukur bukan muridnya, tapi sekolah dan sistem pendidikan di daerah itu. Asesmen berbasis komputer.
Kemampuan guru di setiap daerah tidak sama, lantas bagaimana?
Saya selalu merespons sama kalau memang para guru belum siap.
Boleh menggunakan format lama USBN dan menggunakan pilihan ganda. Silakan. Ini bukan pemaksaan harus menggunakan versi baru. Tidak ada masalah.