Harapan terhadap Timur Tengah 2020
PERANG memang selalu menjadi sumber tragedi kemanusiaan, terlebih jika perang itu tidak berkesudahan. Perang di kawasan Timur Tengah yang bertahun-tahun membawa sebagian kawasan tersebut pada kehancuran peradaban. Ada sebagian negara yang di ambang kehancuran total seperti Yaman, Syria, Iraq, dan Afghanistan. Sebagian negara lainnya hidup dalam kemakmuran, bahkan glamor, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, dan Qatar.
Yaman di ambang kehancuran. Negara itu berubah menjadi negara termiskin di Jazirah Arab. Sumbernya adalah perang saudara, antara kelompok Houthi dan pemerintahan Abd. Rabbu Mansour Hadi yang didukung koalisi Arab. Kelompok Houthi adalah suku minoritas di Yaman. Pemerintahan otokrasi di beberapaJazirahArabmembangkitkan Arab Spring, termasuk Yaman. Perlawanan kelompok minoritas atas pemerintahan diktator berhasil menumbangkan pemerintahan di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Libya.
Di balik Arab Spring, kepentingan koalisi Arab dan Barat berbeda-beda. Di Libya, koalisi Barat yang dipimpin Amerika Serikat mendukung pemberontak untuk menumbangkan Presiden Muammar Khadafi. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak digulingkan gerakan sipil yang dimotori Ikhwanul Muslimin. Meski lahir dari Ikhwanul Muslimin dan memenangi pemilu demokratis Mesir hingga 51 persen pada 2012, Muhammad Mursi (presiden sipil pertama) dalam masa pemerintahannya juga bertindak sewenang-wenang, ditambah dengan ekonomi Mesir yang memburuk.
Dua tahun berkuasa, Mursi digulingkan Panglima Militer Abdul Fattah al-Sisi yang didukung koalisi Barat, terutama Israel dan Amerika Serikat. Dugaan kuat, Mursi berencana membatalkan perjanjian Camp David 1978, yang mewajibkan Mesir menarik pasukan di Semenanjung Sinai.
Kecamuk juga terjadi di Syria sejak 2011. Kelompok oposisi melancarkan serangan pemberontakan ke Presiden Bashar Al Assad. Kelompok pemberontak didukung koalisi Barat meski tidak tampak resmi, sedangkan Presiden Al Assad didukung Rusia dan Iran. Kelompok pemberontak terdiri atas beberapa faksi seperti Negara Islam Iraq dan Syam (ISIL), Front Al Nusra, dan Pasukan Demokratik Syria. Kelompok pemberontak itu secara politik kepentingan mereka dipertemukan sebatas menggulingkan Al Assad. Setelah itu garis perjuangannya berbeda-beda.
Akibat perang di Jazirah Arab yang tidak berkesudahan, terutama di Syria, Yaman, Iraq, dan Afghanistan selama sepuluh tahun terakhir sejak Arab Spring, mereka mengalami kebangkrutan sosial. Bukan saja kematian jutaan warganya, juga jutaan lainnya mengungsi, bahkan ada yang menjadi korban. Kapalnya terbalik di laut demi mencari kehidupan baru di berbagai benua yang mereka impikan seperti di Eropa dan Australia. Sebagian dari mereka juga terdampar di Indonesia, menjadi pengungsi dengan kehidupan sosial yang jauh dari kata layak.
Sepuluh periode generasi mereka juga gagal tumbuh dengan baik akibat hidup dalam suasana konflik sosial dan perang. Jangan harap ada pemenuhan negara terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Yang ada mereka malah menjadi pewaris perang, menyuplai spiral kekerasan yang tak berujung.
Perang di Jazirah Arab yang selama ini kerap dibungkus isu agama di Indonesia juga menampakkan sebaliknya. Kalau kita melacak timbulnya Arab Spring, lebih dipicu soal-soal kekuasaan yang digunakan sewenangwenang, kemerosotan ekonomi, korupsi, dan tidak diindahkannya hukum serta konstitusi. Malah sebaliknya, kekuasaan yang lahir setelah Arab Spring, atau sebelumnya dan menggunakan isu agama (syariah) seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, ISIL di Syria, ISIS di Iraq dan Syria, serta Al Qaeda di Afghanistan, malah hanya seumur jagung.
Di dalam negeri, saya mengharapkan kita tidak mudah terpancing dengan berbagai sentimen agama dalam melihat konflik di Timur Tengah. Seperti yang terbaru, kita nyaris terpancing dengan isu muslim Uighur di Tiongkok. Konflik di Timur Tengah secara makro lebih pas dilihat sebagai konflik perebutan sumber daya dan pengaruh kawasan ketimbang isu-isu agama.
Resolusi 2020
Tidak ada negara yang maju, kuat, dan makmur rakyatnya jika perang terus berlangsung di kawasannya. Pengamat Timur Tengah Mustofa A. Rahman menuliskan (2019), jumlah orang miskin di Timur Tengah dan Afrika Utara mencapai 9,5 juta jiwa pada 2013, kemudian bertambah menjadi 18,6 juta jiwa pada 2015. Kaum sangat miskin di Timur Tengah dan Afrika Utara dengan pendapatan hanya USD 2 per hari mencapai sekitar 2,6 persenpada2013,kemudianbertambah menjadi 5 persen pada 2015.
Kita bisa ambil Yaman sebagai contoh. Sebelum Arab Spring, sumber Bank Dunia (2019), PDB mereka pada 2010 karena kemerosotan ekonomi mencapai USD 30,9 miliar. Kondisi itu sempat membaik pada 2014 ke posisi USD 43,23 miliar. Namun, karena perang makin bergejolak, pada 2018 PDB mereka jatuh terendah dalam sepuluh tahun terakhir ke posisi USD 26,91 miliar. Bandingkan dengan PDB Indonesia 2018 yang mencapai USD 1.042 triliun.
Akibat perang yang tidak berkesudahan, populasi penduduk Syria juga terus menurun sejak 2010. Data Bank Dunia menunjukkan, pada 2010 penduduk Syria mencapai 21,3 juta. Pada 2018 turun menjadi 16,96 juta dari 2017 mencapai 17 juta penduduk. Pada pengujung 2019 ini, elite di Timur Tengah sepatutnya menatap masa depan. Langkah awal yang mungkin terlihat naif tapi demi masa depan bersama adalah melakukan resolusi konflik di seluruh kawasan. Konferensi negara-negara Islam (OKI) dapat mengambil inisiatif lebih besar, misalnya dengan kepeloporan Indonesia. Selain itu,
Gulf Cooperation Council (GCC) bisa makin menguatkan kerja sama ekonomi, baik di dalam kawasan Timur Tengah maupun dengan luar, misalnya dengan ASEAN.
Tidak ada alasan bagi negara-negara Timur Tengah untuk mengakhiri perang. Terlebih, negara-negara yang tidak dilanda konflik sosial seperti Bahrain, Oman, Qatar, Saudi, Kuwait, dan UEA saja dalam beberapa tahun terakhir mengalami defisit neraca perdagangan. Dalam empat tahun terakhir, Saudi mengalami defisit neraca perdagangan terbesar, mencapai USD 3,68 miliar. Demikian juga UEA, mencapai defisit USD 0,4 miliar, Oman defisit perdagangan USD 0,02 miliar, dan Qatar defisit hingga USD 1,32 miliar.
Nasib defisit perdagangan itu tidak hanya dialami sebagian negara di Jazirah Arab. Indonesia sendiri juga mengalami defisit neraca perdagangan. Pada 2018 defisit neraca perdagangan kita mencapai USD 8,57 miliar, jauh lebih dalam dari defisit negara-negara di atas. Berpijak dari kenyataan itu, Indonesia dan Timur Tengah bisa saling menguatkan ekonomi. Melalui berbagai bentuk kerja sama yang menjadi keunggulan dan kebutuhan masing-masing kawasan.
Terhadap kawasan yang masih dilanda konflik sosial, melandaskan politik luar negeri yang bebas aktif, kedudukan Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, OKI, dan ASEAN dapat mendorong penciptaan resolusi konflik di Syria, Yaman, Iraq, dan Afghanistan. Memang tidak mudah. Tapi, langkah itu harus dimulai secara sistematis oleh pemerintah Indonesia.