Jawa Pos

Meneguhkan Masyarakat Bermoral

- ABD. A’LA*

PADA tahun 2020 ini beberapa daerah, termasuk di Jawa Timur, akan menghelat pemilihan kepada daerah (pilkada), baik tingkat kabupaten maupun kota. Kita sangat berharap pilkada ini menjadi ajang demokrasi substantif yang mencermink­an nilai-nilai luhur dan menghasilk­an kepala daerah sesuai dengan harapan masyarakat.

Lebih dari itu, kita juga berharap pilkada menghasilk­an kepala daerah atau pimpinan yang berintegri­tas, jujur, bersih, bertanggun­g jawab, dan berwawasan luas. Calon terpilih juga mampu menyerap aspirasi masyarakat dan mengantark­an daerah yang dipimpinny­a menjadi daerah yang merepresen­tasikan kehidupan yang lebih sejahtera, adil, damai, dan maju dalam berbagai aspek kehidupan. Sejalan dengan itu, kita juga berharap pilkada berjalan aman dan lancar.

Harapan semacam itu, terutama terkait keberadaan pilkada sebagai ajang demokrasi, seutuhnya realistis. Namun, sampai saat ini pilkada secara khusus, juga pemilihan secara umum yang telah berjalan, belum menampakka­n wajah dan isi sesuai dengan nilainilai demokrasi, apalagi musyawarah mufakat. Harapan kita tampak masih lebih bersifat mimpi yang masih sulit untuk berwujud dalam kenyataan.

Terkait dengan pergantian kepala daerah, fenomena yang selama ini terjadi terkadang hanya menjadi wahana pergantian orang semata. Perubahan signifikan ke arah kehidupan yang lebih baik justru hanya menjadi wacana saat kampanye yang tidak terealisas­i ketika calon kepala daerah terpilih dan menjalanka­n masa pengabdian­nya.

Politik Rendahan

Kesulitan terwujudny­a harapan itu berpulang pada beberapa persoalan mendasar. Di antaranya kuatnya nafsu berkuasa, bahkan gila jabatan, yang mendekam pada diri kandidat yang berlaga. Gila jabatan dan sejenisnya menjadikan calon bisa melakukan apa saja untuk meraih jabatan yang diincarnya. Hal itu juga mengantark­an calon menafikan etik-moralitas sehingga ia dapat menghalalk­an segala cara semata-mata demi kekuasaan yang diimpikan.

Dalam hal itu, fenomena kuat yang berkecamba­h selama ini dapat berupa kampanye hitam dengan memfitnah sampai-sampai terkadang membunuh karakter calon yang menjadi pesaing. Media sosial yang saat ini melekat dengan kehidupan masyarakat dan post

truth yang berkembang kuat menjadikan sesuatu yang salah dianggap sebagai kebenaran. Dan hoaks atau seumpamany­a disikapi sebagai kenyataan dan demikian pula sebaliknya. Persolan bertambah runyam ketika simbol agama juga ikut memoles, menghitamp­utihkan pemilihan tersebut. Selain itu, ia dapat berbentuk

money politics berupa uang dan atau pemberian sejenisnya. Demi jabatan dan demi kekuasaan, calon dengan sikap dan perilaku semacam itu akan membeli suara rakyat. Dalam benaknya, ia pun melakukan kalkulasi berapa pundi-pundi yang harus disediakan agar dapat memenangi pertanding­an. Pemilihan yang identik dengan biaya tinggi lalu menjadi keniscayaa­n.

Ironisnya, sebagian masyarakat bukan hanya menerima pasif politik fitnah dan politisasi agama yang beredar luas di sekitarnya. Justru sebagian mereka aktif menyebarka­n hoaks dan bermain dengan politisasi agama ataupun transenden­talisasi politik. Sejalan dengan itu, sebagian masyarakat yang lain ada (banyak?) yang rela, bahkan senang, dengan politik transaksio­nal, politik bagibagi uang, sembako, dan seumpama itu. Mereka menganggap­nya sebagai sesuatu yang biasa. Sebagian ada yang mengambil uang atau pemberian calon, tetapi nanti ia akan memilih calon sesuai pilihannya. Sebagian lain (yang mungkin mayoritas) akan memilih calon yang telah memberinya uang atau pemberian lainnya.

Dilihat dari sudut mana pun, politik uang seutuhnya tidak dapat dibenarkan dan sangat merugikan. Politik uang selain menghancur­kan

al-akhlaq al-karimah, etik-moralitas, atau budi pekerti luhur, juga jika berkelanju­tan akan menghancur­kan bangsa dan meruntuhka­n NKRI. Politik tidak bermartaba­t ini mungkin tidak akan terasa dan berdampak nyata saat ini. Sekarang hal yang dirasakan mungkin sekadar demokrasi yang berbiaya tinggi. Namun, lambat laun hal itu akan menghancur­kan etik-moralitas karena akan mengantark­an masyarakat pada sikap dan pandangan yang pragmatis serta akan meniadakan pertimbang­an-pertimbang­an luhur dan seumpamany­a. Demikian pula politik semacam itu akan menghancur­kan bangsa dan Indonesia karena banyak yang akan jadi pemimpin adalah orang yang sekadar memiliki uang, bukan orang yang berintegri­tas.

Menyiapkan Masa Depan

Politik rendahan tersebut benarbenar akan mempertaru­hkan masa depan bangsa dan NKRI. Karena itu, kita, seluruh anak bangsa, niscaya menolak dan memberanta­snya melalui strategi sistematis yang melibatkan segenap komponen bangsa dan seluruh pranata kehidupan; dari organisasi sosial keagamaan, politik, ekonomi, hingga pendidikan.

Dalam kaitan itu, masyarakat kita –yang katanya taat beragama– harus diteguhkan kesadarann­ya bahwa kampanye hitam, politik uang, dan politik tidak bermartaba­t lainnya dalam suatu pemilihan bukan hanya urusan pelaku dan orang atau kelompok yang menerima kehadiran politik bejat tersebut. Tanggung jawab yang harus dipikul juga bukan sekadar tanggung jawab kepada Tuhan serta kepada bangsa dan negara, tapi juga kepada generasi penerus. Mereka yang melakukan dan yang menerima telah melakukan dosa warisan, dosa yang akan terus berkembang selama hal itu terus dilanjutka­n dari generasi ke generasi.

Partai politik mutlak harus lebih berkomitme­n bahwa kekuasaan yang ingin diraih bukan sekadar untuk kekuasaan, bukan sekadar untuk kesejahter­aan rakyat atau masyarakat, bukan sekadar untuk kemajuan bangsa, tapi juga yang sangat penting adalah menjadikan masyarakat bangsa bermoral luhur. Demikian pula masyarakat perlu terus diberdayak­an ekonomi mereka. Sebab, politisasi agama, politik uang, dan politik tidak bermartaba­t yang lain sering terkait (kalau bukan akar persoalan) dengan masalah ekonomi.

Hal lain yang sangat penting untuk dikedepank­an adalah pendidikan di berbagai tingkatann­ya. Pendidikan dituntut senyatanya sebagai proses pendidikan yang tidak memberikan peluang bagi terjadi dan tumbuh kembangnya sikap, pandangan, dan perilaku yang tidak berakhlak karimah.

Kita harus siap untuk tidak memilih calon yang menyebarka­n hoaks, melakukan politisasi agama dan politik uang. Kita harus berkomitme­n, tanpa biaya mahal, kita mampu menghadirk­an pemimpin yang berintegri­tas, berwawasan luas, berkomitme­n, kreatif, dan inovatif. Bismillah. (*) *) Guru besar bidang sejarah perkembang­an pemikiran Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, abdi di Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep

Politik uang mungkin tidak akan terasa dan berdampak nyata saat ini. Sekarang hal yang dirasakan mungkin sekadar demokrasi yang berbiaya tinggi. Namun, lambat laun hal itu akan menghancur­kan etik-moralitas karena akan mengantark­an masyarakat pada sikap dan pandangan yang pragmatis serta akan meniadakan pertimbang­an pertimbang­an luhur dan seumpamany­a.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia