Benih Lobster Adalah Tumpuan Hidup
Budi daya lobster petambak Teluk Jukung, Telong-Elong, Lombok Timur, NTB, memberikan hasil menggiurkan. Petambak bisa meraup Rp 1 miliar sekali panen yang berlangsung enam hingga tujuh bulan sekali. Bahagia bisa kembali membudidayakan benih lobster, sekal
TELUK Jukung sedang cerah Rabu pekan lalu (8/1). Pantulan sinar matahari ke permukaan laut menimbulkan efek panas yang
lumayan menyengat. Siang itu para petambak tampak mulai lalu-lalang di tengah laut dengan menaiki perahu motor.
Di dalam perahu ada wadah berupa bak atau ember. Isinya makanan lobster. Mereka menuju karamba masing-masing yang jaraknya tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Di tengah air laut yang tenang itu ratusan petak karamba berjejer rapi. Di situlah hidup ribuan lobster. ’’Kami lebih senang ngasih makan lobster siang begini,” kata Mashur, salah seorang petambak
Pria 50 tahun itu menuturkan, di Teluk Jukung yang merupakan pusat budi daya lobster ada sekitar 500 karamba. Semuanya milik warga Dusun Telong-Telong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Jika tidak mampu punya sendiri, biasanya satu area karamba dimiliki patungan oleh beberapa pembudi daya. ”Pokoknya yang penting punya sebagai mata pencaharian,” ujarnya.
Mashur termasuk petambak yang tergolong mampu. Warga asli Telong-Elong itu memiliki wadah budi daya lobster berukuran 24 x 14 meter yang dibagi menjadi 28 petak. Satu petak berukuran 3 x 3 meter. Setiap petak berisi 90 hingga 100 benih lobster. Artinya, dia memiliki 2.520 hingga 2.800 lobster di dalam karamba.
Lobster yang dibudidayakan terdiri atas dua jenis. Yaitu, lobster pasir dan lobster mutiara. Harga lobster pasir ukuran 100 gram mencapai Rp 250 ribu. Sedangkan mutiara, tutur Mashur, semakin besar semakin mahal. Harga lobster mutiara di atas 200 gram bisa mencapai Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta. ”Pokoknya semakin besar semakin mahal,” jelasnya.
Sekali panen, yang biasanya berlangsung enam sampai tujuh bulan sekali itu, dia mampu menghasilkan 500 kilogram lobster. Harga jualnya Rp 160 juta hingga Rp 200 juta. ”Kalau saya panen minimal dapat bersih Rp 100 juta,” ujarnya.
Menurut dia, budi daya lobster sama sekali tidak merepotkan. Yang harus diperhatikan hanya makanan. Petambak Teluk Jukung biasanya memberikan pakan berupa bekicot dan ikan teri. Makanan ditaburkan di setiap petak karamba. Lobster akan bermunculan ke permukaan menggapai daging bekicot atau ikan teri itu. ”Ibaratnya kita lepas di alam pun akan besar dengan sendirinya,” tutur Mashur.
Roja, 58, juga salah seorang petambak sukses. Pria yang tahun lalu menunaikan ibadah haji itu kini memiliki 60 petak karamba. Sekali panen, dia mampu menghasilkan 1 ton lobster. Harganya di atas Rp 1 miliar. ”Itu kalau harga sedang bagus. Tapi, kalau saat ini sekitar Rp 700 juta,” tuturnya.
Lobster hasil budi daya Teluk Jukung banyak diminati pembeli luar negeri. Terbanyak dikirim ke Tiongkok, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Namun, warga mengaku sulit menjual langsung ke perusahaan. Tidak ada akses. Mereka pun harus menggunakan jasa makelar. Sudah pasti ada biaya yang dikeluarkan. ”Jadi, kami butuh bantuan pemerintah agar potongan harga ke petambak tidak terlalu banyak,” imbuh Roja.
Warga merasa lobster memberikan manfaat luar biasa besar bagi hidup mereka. Terutama secara materi. Kesejahteraan meningkat pesat. Lihat saja deretan rumah di dusun itu. Mentereng. ’’Sekarang tidak ada lagi rumah yang berdinding gedek. Semua tembok, bahkan marmer,” tutur Mashur.
Dari hasil budi daya lobster, masyarakat juga bisa memberikan pendidikan tinggi ke putra putrinya. Anak muda sekitar ratarata sudah mencapai jenjang perguruan tinggi. Padahal, sebelum 2005, hampir tidak ada pemuda bergelar sarjana. ”Sekarang anak-anak yang lulus SMA malu kalau tidak kuliah,” tambah Roja.
Pihaknya berharap pemerintah jangan sampai membuka keran ekspor benih lobster. Mereka meminta benih dipelihara lebih dulu, baru diekspor. Selain menambah nilai jual, itu bisa memberdayakan nelayan tradisional. Di sisi lain, ekspor benih lobster hanya akan menguntungkan pengusaha-pengusaha besar. ”Benih lobster adalah tumpuan hidup para nelayan kecil seperti kami. Kami menolak keras jika pemerintah mencabut larangan ekspor benih lobster,” tegas Roja.
Diketahui, pada 2016, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) 56/2016. Isinya tentang larangan penangkapan atau pengeluaran lobster, kepiting, dan rajungan dari Indonesia. Aturan tersebut melarang nelayan menangkap benih lobster dan memperjualbelikannya. Lobster hanya boleh dikeluarkan dari perairan Indonesia ketika sudah berukuran minimal 200 gram.
Aturan itu, menurut warga, sangat merugikan mereka. Setiap kali membeli benih dari nelayan, selalu ditangkap polisi di perairan Sumbawa. Anehnya, tutur dia, benih lobster hasil pembelian tersebut tidak dikembalikan ke laut, tapi diamankan. ”Ya, dijual oknum polisi itu,” tutur Abdul Rozak, petambak lainnya.
Dampaknya, tutur dia, banyak warga yang bangkrut. Tak memiliki pendapatan cukup. Mereka banting setir menjadi TKI ke Malaysia karena bingung mencari pekerjaan. ”Mau menggarap ladang atau sawah kami nggak punya,” tuturnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB Lalu Hamdi mengakui, potensi budi daya lobster di Teluk Jukung besar. Budi daya lobster sudah eksis sebelum 2014. Namun, sempat mandek setelah muncul Permen 56/2016. ”Saat ini mulai menggeliat lagi. Apalagi, Pak Menteri (Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Red) sudah memberikan lampu hijau petambak bisa melakukan budi daya benih lobster,” tuturnya.
Pihaknya berniat memperluas area budi daya hingga mencapai 135 hektare. Saat ini lokasi yang dimanfaatkan warga masih belum sampai 50 hektare. DKP NTB akan memetakan lokasi yang dinilai potensial. Tidak hanya di Pulau Lombok, tapi juga merambah Pulau Sumbawa. ”Benih lobster yang bisa ditangkap masyarakat mencapai 5,5 juta ekor per tahun. Ini baru di Pulau Lombok. Belum termasuk di Sumbawa,” imbuh Hamdi.