Sebelum Pilkada 2020, Bersumpah Tidak Genit Memainkan Suara
Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Wahyu Setiawan (WS), komisioner KPU, meruntuhkan kepercayaan publik pada proses demokrasi. KPU perlu upaya ekstrem untuk mengembalikan kepercayaan menjelang pilkada 2020. Berikut wawancara Jawa Pos Folly Akbar dengan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno kemarin (16/1).
Dari aspek politik, sejauh mana dampak kerusakan kasus OTT WS terhadap sistem pemilu kita? Kepercayaan publik terhadap pemilu runtuh total. Sulit dikembalikan dalam waktu dekat. Sebab, kasus Wahyu dengan caleg PDIP secara tidak langsung membenarkan dugaan bahwa dalam pileg sering terjadi suara yang semestinya kalah jadi menang dan seterusnya. Kedua, ini persekongkolan jahat bahwa dalam event politik ada saja oknum elite yang bersekongkol memanipulasi suara. Itu melekat setelah OTT. Tak bisa dihindari, Pilkada 2020 dibayangi kekhawatiran akan potensi persekongkolan penyelenggara dan kontestan yang bertarung. Secara politik, itu menjadi dampak buruk.
Mengembalikan kepercayaan butuh waktu. Apa yang bisa dilakukan untuk percepatan, mengingat pilkada sudah dekat?
KPU di berbagai level harus recovery. Berkomitmen, kalau perlu bersumpah, bahwa mereka tidak akan genit. Kepercayaan publik pada titik nadir. Bila perlu, mereka bersumpah akan dikutuk 10 turunan oleh Tuhan kalau genit. Bentuk komitmen itulah yang paling mungkin mengembalikan kepercayaan.
Kalau hanya retorika bahwa mereka netral dan independen, publik sudah tidak percaya. Kurang hebat apa Wahyu, misalnya? Dulu sering menolak caleg eks koruptor. Wahyu juga sering ngomong netral. Ternyata dia pelakunya. Omongan normatif sudah nggak dipercaya. Jadi, KPU di seluruh level harus declare di depan publik bahwa mereka tidak akan genit memanipulasi suara.
Kasus WS menyeret latar belakangnya di organisasi yang diasosiasikan dekat dengan partai. Apakah syarat menjadi komisioner KPU perlu dievaluasi?
Ini dilemanya. Selama proses masih melibatkan DPR, selama itu juga ada tarikan napas politik lobi-lobi dengan partai agar dipilih. Yang milih orang partai, maka yang harus dilakukan ya lobi. Ini yang repot. Bahkan, kalau di-breakdown, mudah diketahui ini afiliasi siapa, ini afiliasi siapa.
Jadi, bukan hanya syarat. Idealnya, sistem rekrutmennya juga perlu diubah?
Harus dirombak total. Kalau perlu, calon-calonnya bersih betul. Nggak ada afiliasi dan tarikan politik dengan partai mana pun. Kedua, diperkuat di pansel. Rata-rata pansel mudah ditebak ini orangnya siapa. Tim seleksi juga harus punya iktikad baik untuk membersihkan KPU dari unsur partisan. Jangan sampai tim seleksi juga partisan. Satu hal yang bisa diharapkan adalah komitmen moral dari DPR agar tidak genit. Politik kita harus naik level sehingga lebih bermartabat.