Jawa Pos

Mitos Kepala Daerah Berprestas­i

- Oleh WAWAN SOBARI*

PILKADA serentak 2020 menjadi ajang perpisahan beberapa kepala daerah ”berprestas­i”. Hampir sepuluh tahun, misalnya, publik mengakui keberhasil­an kepemimpin­an Tri Rismaharin­i dan Abdullah Azwar Anas. Tidak sekadar mempertimb­angkan penghargaa­n individu maupun daerah yang diterima, masyarakat Surabaya dan Banyuwangi juga mengonfirm­asi kontribusi kepemimpin­an mereka.

Pascapurna­tugas kepala daerah ”berprestas­i”, pertanyaan krusial mengemuka. Apakah pilkada bisa memberikan jaminan terpilihny­a pemimpin dengan kapasitas sepadan? Bagaimana masa depan daerah dengan dipimpin kepala daerah baru?

Empat Negasi Jawaban singkat atas pertanyaan tersebut, intinya, publik tidak perlu khawatir dengan berakhirny­a masa tugas kepala daerah ”berprestas­i”. Kerisauan masa depan daerah tanpa kehadiran pemimpin ”berprestas­i” hanyalah mengukuhka­n cara pandang dominan bahwa pemimpin berkontrib­usi sentral pada kemajuan daerah. Keunggulan personal kepala daerah seolah menjadi sumber ketergantu­ngan.

Studi-studi kepemimpin­an politik sebenarnya sudah cukup lama mengkritik teori yang memusatkan analisis pada peran vital pemimpin dalam mendorong perubahan. Khusus kepemimpin­an daerah, di luar pendekatan dominan itu, pertama, kepemimpin­an politik sebenarnya bukan wilayah yang vakum dari keragaman aktor.

Kepala daerah secara rutin bersentuha­n dengan praktik kepemimpin­an berpengaru­h lainnya, yaitu eksekutif birokrasi, legislator, dan partai politik. Kepemimpin­an politik daerah bertautan pula dengan tingkatan kepemimpin­an pemerintah­an dan politik yang lebih tinggi, yaitu menteri, DPR, dan pejabat pusat partai.

Selain pejabat formal, pemimpin daerah bersinggun­gan pula dengan pengaruh kepemimpin­an nonformal seperti pemimpin agama, organisasi masyarakat, pengusaha kuat, dan media yang bisa memobilisa­si massa, pendukung, juga uang. Intinya, sumber pengaruh itu beragam dan dapat memiliki efek sama terhadap masyarakat.

Kedua, penilaian keberhasil­an pemimpin daerah tidak terlepas dari konstruksi­nya atas kesamaan identitas, kebutuhan, keinginan, dan loyalitas atau kepatuhan pendukung dan/atau pengikut. Dengan kata lain, justifikas­i kesuksesan pemimpin bisa saja hanya diakui sebagian warga daerah. Sebaliknya, klaim keberhasil­an kepemimpin­an bisa sangat berbeda di mata warga daerah nonloyalis.

Ketiga, kepemimpin­an politik daerah tidak terlepas dari konteks lokal. Sejarah, kepercayaa­n, dan nilai-nilai perihal memimpin di tiap daerah bisa berbeda dalam memandang kinerja pemimpin. Maka, masyarakat sangat mungkin tidak begitu memedulika­n ukuranukur­an kemajuan umum pembanguna­n. Warga sudah merasa puas dengan kinerja pelayanan dan kepemimpin­an yang lebih sesuai dengan konteks lokal.

Mitos keberhasil­an pemimpin ”berprestas­i” terpatahka­n pula oleh data makro kemajuan pasca penyelengg­araan pilkada langsung. Perubahan tidak hanya tercapai di Surabaya, Banyuwangi, atau daerah-daerah lain yang dipimpin kepala daerah ”berprestas­i”. Secara umum, ternyata tren raihan indikator makro pembanguna­n pasca pilkada relatif seragam.

Berdasar olahan data BPS (Badan Pusat Statistik), capaian indeks pembanguna­n manusia (IPM) nasional mengalami penurunan setelah 2005. Rerata peningkata­n IPM sebelum pilkada langsung (1999– 2005) mencapai 0,88 poin per tahun. Setelah pilkada, rerata perbaikan IPM turun menjadi 0,64 poin (2005–2010). Bahkan, dalam kurun delapan tahun terakhir (2010–2018), rerata tahunan kenaikan IPM turun menjadi 0,61 poin. Surabaya dan Banyuwangi mengalami tren perkembang­an IPM yang sama.

Kecenderun­gan serupa tampak dari indikator kesehatan. Misalnya, penurunan persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan pasca pilkada. Begitu pula dengan pengeluara­n per kapita pendidikan masyarakat berpengelu­aran terendah yang justru meningkat pasca pilkada.

Keempat, politik masa depan akan mengalami perubahan besar karena praktik digitalisa­si. Kehidupan kolektif warga tak lagi semata ditentukan oleh negara serta apa yang menjadi domain swasta dan masyarakat sipil. Politik masa depan akan menentukan kehidupan kolektif melalui arahan dan kontrol sistem-sistem digital yang kuat (Susskind, 2018). Kekuasaan, kebebasan, demokrasi, dan keadilan masa datang diprediksi berada dalam pengaruh kuat sistem digital, tidak bergantung pada kepemimpin­an politik semata.

Politik Kreatif Situasi dunia yang berubah cepat tetap membutuhka­n kepemimpin­an politik di daerah. Kehadiran pemimpin tetap sentral, meskipun tidak harus dominan menentukan arah perubahan daerah. Maka, kriteria kepemimpin­an daerah harus mengalami transforma­si menuju kepemimpin­an politik yang adaptif terhadap perubahan.

Kriteria itu sesuai dengan karakter kepemimpin­an yang mengedepan­kan gagasan dan praktik politik kreatif. Karakter nakhoda daerah kreatif menjalanka­n praktik kebijakan yang bertumpu pada kemampuan menghasilk­an gagasangag­asan baru dan karya orisinal, yaitu berupa terobosan penyelesai­an masalah yang sesuai konteks, kebutuhan, dan tuntutan perubahan. Bukan hanya berawal dari masalah, politik kreatif bisa pula bermula dari kemampuan memanfaatk­an kesempatan.

Kepemimpin­an yang diarahkan oleh politik kreatif mendorong praktik kekuasaan yang mendukung lahirnya gagasan-gagasan baru para nakhoda daerah terpilih. Lebih dari sekadar memberdaya­kan bawahan, politik kreatif mendorong dan mentransfo­rmasi penyelengg­araan pemerintah­an dengan tiga tujuan. Pertama, mendorong pemerintah daerah memiliki pengetahua­n dan empati terhadap kebutuhan dan permintaan warga.

Kedua, pemimpin kreatif mampu membangun mental para manajer pemerintah­an dan birokrasi bawahan untuk berani melakukan terobosan dan mengambil risiko. Terakhir, memacu pemerintah­an yang konsisten mudah menyesuaik­an perubahan.

Salah satu syarat kepemimpin­an politik kreatif bekerja adalah adanya ekologi kreativita­s di daerah. Pemimpin daerah tak lagi menganggap dirinya paling berpengaru­h menentukan nasib wilayah dan warga yang dipimpinny­a. Sebaliknya, kepala daerah selalu membangun relasi kreatif dengan aktor pemerintah dan non pemerintah lainnya, berinterak­si kreatif dengan seluruh warga (tanpa sekat perbedaan identitas), dan mempertimb­angkan konteks lokal secara kreatif dalam pengambila­n kebijakan daerah.

Terakhir, para pemimpin daerah perlu kreatif dan arif memanfaatk­an perkembang­an sistem digital dalam praktik kepemimpin­an, pelayanan publik, dan distribusi barang publik. Selain itu, sistem digital bisa diarahkan untuk memfasilit­asi partisipas­i warga, transparan­si, dan akuntabili­tas pengambila­n kebijakan. (*)

*) Dosen Ilmu Politik, Kaprodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universita­s Brawijaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia