Orang Titipan
KASUS suap yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan bisa jadi merupakan puncak problem integritas penyelenggara pemilu saat ini. Sebuah bukti bahwa ada celah dalam proses rekrutmen. Celah yang di berbagai daerah sudah menjadi rahasia umum. Bahwa jabatan penyelenggara pemilu kerap diisi orang-orang yang dekat dengan parpol. Bahkan sebagian adalah titipan.
Itu pula yang diungkapkan Wahyu saat disidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pria kelahiran Banjarnegara, 5 Desember 1973, itu sulit menghindari lobi pelaku penyuapan. Alasannya adalah kedekatan.
Daftar riwayat hidup Wahyu di situs KPU sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia pernah berafiliasi dengan partai politik (parpol). Namun, hanya karena ’’kedekatan’’ dengan orang parpol, dia bisa terjerat kasus suap. Padahal, di provinsi maupun kabupaten/kota, sangat banyak penyelenggara pemilu yang terangterangan merupakan orang titipan. Entah itu titipan kepala daerah, parpol, sayap parpol, ataupun ormas yang dekat dengan parpol.
Pernah suatu ketika, seorang calon anggota KPU di sebuah kabupaten di Jatim sangat optimistis lolos seleksi. Sebab, dia sudah mendapat jaminan dari bupati. Pada hari-hari terakhir menjelang pengumuman hasil seleksi, calon itu lemas. Dia sudah tahu namanya dicoret. Posisi yang dia incar tersebut ternyata diambil calon lain yang merupakan titipan parpol besar.
Problem integritas penyelenggara pemilu juga bisa tecermin dari kasus begitu banyaknya pelanggaran etik yang ditangani DKPP. Misalnya, pelaksanaan pemilu serentak 2019. Lembaga pengadil etik pemilu itu menerima 1.027 pengaduan. Sebanyak 521 aduan masuk pada tahap yang berlangsung pada 2018, sedangkan 509 aduan lainnya masuk pada 2019.
Sekitar 63 persen pengaduan itu (650 perkara) dinyatakan layak disidangkan. Jumlah penyelenggara yang diadukan dalam perkara etik tersebut mencapai 2.455 orang. Tentu bukan angka yang sedikit. Berbagai sanksi telah dijatuhkan dalam kasus penanganan kasus itu. Mulai pemberhentian tetap, pemberhentian sementara, atau peringatan.
Memang, ada pengaduan yang akhirnya tidak terbukti. Namun, berbagai indikasi pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu tetap wajib menjadi perhatian seluruh masyarakat. Bahkan, pengawasan harus dilakukan sejak rekrutmen penyelengara pemilu.
Identitas formal penyelenggara pemilu kerap tidak bisa dijadikan acuan bahwa mereka streil dari afiliasi terhadap kekuatan politik. Yang tak kalah penting untuk diketahui adalah cerita tentang kedekatan mereka dengan kekuatan politik. Baik jauh sebelum menjadi penyelenggara maupun pada saat sudah memegang jabatan. Mari kita awasi bersama.