Tensi Perang Dagang Mereda
AS-Tiongkok Teken Kesepakatan
JAKARTA, Jawa Pos – Perseteruan dagang dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, mereda. Dilansir dari Reuters, dua negara tersebut akhirnya menandatangani kesepakatan dagang fase pertama. Dalam kesepakatan itu, dua negara tersebut sepakat tidak menaikkan tarif sampai perjanjian fase selanjutnya.
Meski kesepakatan itu secara definitif belum menggambarkan bahwa trade war sudah usai, pengamat dan investor berharap momen tersebut menjadi langkah penting pemulihan ekonomi global. Kesepakatan perdagangan fase pertama antara AS dan Tiongkok diteken pada Rabu (15/1) waktu setempat oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He.
Pelaku usaha berharap hal itu terus berlanjut pada tahap yang semakin positif sehingga mampu menghilangkan tensi perang dagang. ”Penurunan tensi perang dagang kita harapkan dapat mengembalikan pertumbuhan ekonomi dunia,” ujar Wakil Ketua Kadin Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Kamdani kemarin.
Shinta juga berharap hal tersebut berdampak pada penetrasi ekspor Indonesia. Sebab, permintaan ekspor dari Tiongkok tahun lalu terpantau turun karena tekanan pada pertumbuhan industri mereka akibat perang dagang. ”Selain Tiongkok, kita berharap pasarpasar utama yang terdampak trade war seperti Eropa juga bisa meningkatkan permintaan,” ucapnya.
Keraguan pelaku usaha terhadap dampak positif kesepakatan ASTiongkok memang cukup beralasan. Sebab, dalam kesepakatan tersebut, AS masih akan mempertahankan sebagian besar tarif impor kepada Tiongkok dan sebaliknya. Hanya, kesepakatan itu akan mengerem dua negara tersebut untuk tidak menaikkan tarif yang sudah ada. Di samping itu, kesepakatan tersebut juga berisi komitmen dua negara itu atas pembelian barang dan jasa manufaktur, energi, pertanian, dan sebagainya. ”Kalau dampaknya terhadap pemulihan ekonomi dunia terlalu minim, kemungkinan adanya peningkatan permintaan terhadap ekspor nasional juga lebih terbatas,” jelasnya.
Di luar faktor perang dagang dan penurunan demand perdagangan dunia, faktor utama penghambat ekspor adalah cost to productivity dan biaya supply chain yang terlalu tinggi. Selain itu, diversifikasi produk ekspor Indonesia dianggap masih minim. Hal tersebut disebabkan ketiadaan investasi untuk mengembangkan produk-produk ekspor baru yang berkualitas dan sesuai dengan permintaan pasar. ”Faktor-faktor ini di 2019 sangat terasa dampaknya terhadap permintaan ekspor nasional,” ucapnya.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga memproyeksikan bahwa ketidakpastian global masih tinggi meski kesepakatan awal antara AS dan Tiongkok sudah diteken. ’’Kesepakatan tersebut belum menjamin perang dagang akan mereda. Ini merupakan kesepakatan yang sifatnya hanya ngerem untuk sementara,’’ tuturnya.
Menurut Faisal, konsolidasi dua negara tersebut belum akan menimbulkan direct impact dalam konteks positif, termasuk untuk Indonesia. Sebab, imbas perang dagang disebut sudah telanjur meluas dan membuat semua negara di dunia bersikap protektif. ”Penetrasi ekspor Indonesia masih tidak mudah meski sudah ada kesepakatan itu. Karena proteksi tidak hanya dilakukan AS dan Tiongkok, tetapi juga negara mitra tujuan lainnya,” ucapnya.