Persidangan yang Dianggap Medan Perang
SETELAH serangkaian proses pembuktian di persidangan terhadap ZA, pelajar berusia 17 tahun yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap Misnan (pelaku pembegalan), rencananya dalam minggu ini majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Malang, membacakan putusannya
Kasus tersebut mengingatkan kita akan kasus serupa pada 2018. Ketika itu publik dihebohkan dengan penetapan tersangka IMB karena telah membunuh Aric Saifullah, seorang begal di Bekasi, Jawa Barat.
Bedanya, kasus IMB akhirnya dihentikan polisi. IMB bahkan mendapatkan penghargaan dari Polres Bekasi. Sebaliknya, kasus ZA tetap berlanjut hingga ke proses penuntutan di PN Kepanjen. Meskipun mengetahui motif pembunuhan yang dilakukan ZA adalah membela kehormatan pacarnya dari ancaman pemerkosaan yang dilakukan Misnan, polisi tampak ragu-ragu menerapkan pasal 49 KUHP dan memilih menyerahkan kelanjutan perkara ZA ke kejaksaan.
Idealnya, jaksa penuntut umum sudah harus terlibat sejak awal penyidikan perkara ZA agar dapat melakukan verifikasi terhadap alat bukti yang ditemukan penyidik. Praktik itu lazim dilakukan di negara-negara Eropa penganut civil law system seperti Belanda dan Jerman.
Di sisi lain, karena perannya sebagai magistrate (pejabat peradilan), jaksa Belanda dapat dengan mudah menghentikan perkara seperti ZA demi kepentingan hukum (vervolgingsuitsluitingsgronden). Itu dilakukan jika jaksa menemukan alat bukti yang mendukung motif pembunuhan dilakukan karena pembelaan diri (noodweer).
Namun, berbeda dengan praktik di Belanda, jaksa penuntut umum di Indonesia baru terlibat dalam penanganan perkara pidana umum saat penyidik menyerahkan berkas penyidikan mereka yang sudah lengkap. Meski demikian, sisa-sisa peninggalan sistem penuntutan
Belanda dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), salah satunya, masih bisa kita lihat dalam pengaturan pasal 140 (2) KUHAP.
Mekanisme pengaturan pasal itu dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 25 Peraturan Jaksa Agung (Perja) 036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penanganan Perkara Pidana Umum. Ketentuan tersebut sejatinya memberikan peluang kepada jaksa untuk menghentikan perkara demi kepentingan hukum dengan memperhatikan perkembangan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tentu, jika memandang alat bukti yang ditemukan penyidik kurang meyakinkan, jaksa bisa melakukan pemeriksaan tambahan terhadap para saksi yang menguatkan motif ZA sebelum menghentikan penuntutan. Namun, tampaknya kewenangan itu tidak dipergunakan jaksa di Kejaksaan Negeri Kepanjen, Malang. Itu tampak jelas dari pilihan meneruskan proses penuntutan dan penyusunan dakwaan subsidiaritas yang digunakan untuk menjerat ZA.
Tiga pasal dengan ancaman berat (pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, dan pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia) dipasang jaksa dalam dakwaannya. Jika tiga pasal itu ternyata tidak terbukti, jaksa sudah menyiapkan pasal 2 UndangUndang (UU) Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang akan menjerat ZA karena membawa senjata tajam tanpa izin dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara.
Menariknya, jaksa sama sekali tidak memasukkan kemungkinan masuknya unsur pasal 49 KUHP tentang pembelaan terpaksa dalam dakwaannya. Bahkan, sebagaimana diberitakan, pasal terkait penerapan UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga tidak dicantumkan dalam dakwaan perkara tersebut. Menjadi lazim jika kemudian publik mempertanyakan alasan jaksa mendakwa ZA dengan ancaman pidana seumur hidup.
Setelah kasus itu menjadi kontroversi di kalangan masyarakat, Jaksa Agung ST Burhanuddin ikut bicara dan menyebut ZA melakukan pembelaan diri dalam keadaan tidak terpaksa penuh saat membunuh Misnan. Sebagaimana disebut dalam SEJA 013/A/JA/12/2011, jaksa agung memerintahkan jaksa penuntut umum menuntut ZA dengan pasal 351 KUHP dengan tuntutan pembinaan selama satu tahun di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
Dari tuntutan itu, terlihat kejaksaan kukuh menghukum pembelaan diri yang dilakukan ZA. Dengan tidak mencantumkan pasal 49 KUHP dalam dakwaannya, sejak awal jaksa telah menolak untuk menggali bukti terkait pembelaan diri yang dilakukan ZA.
Alih-alih berfungsi sebagai magistraat seperti kejaksaan Jerman, yang mewajibkan jaksanya menuntut bebas saat menemukan fakta persidangan yang menguntungkan terdakwa, kejaksaan Indonesia menganggap persidangan seperti medan perang yang harus mereka menangi. Akhirnya publik saat ini hanya bisa berharap kepada majelis hakim agar melihat perkara itu secara utuh dan menghasilkan putusan yang adil. Setidaknya putusan tersebut akan menjadi pelajaran: seberapa jauh negara memperbolehkan pembelaan diri yang dilakukan warganya saat keamanan masih menjadi barang mahal di negeri ini. (*)