DPR Desak Pemerintah Kirim Draf Omnibus Law
RUU Harus Akomodasi Kepentingan Pelaku Usaha dan Pekerja
JAKARTA, Jawa Pos – Hingga kemarin (21/1) draf omnibus law, khususnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja, secara resmi belum masuk parlemen. Namun, sejumlah legislator menyatakan sependapat dengan penolakan dari kelompok buruh.
Komisi IX DPR yang salah satunya membidangi urusan ketenagakerjaan setuju dengan tuntutan para buruh. ”Kami bersama kawan-kawan buruh menolak dampak negatif dari omnibus law ini,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin
Bahkan, kita seperti kucingkucingan. Buruh bilang sudah dapat bocoran. DPR belum bisa pastikan kebenaran naskah RUU itu.” RIBKA TJIPTANING Anggota Komisi IX DPR
Meski DPR belum menerima draf RUU Cipta Lapangan Kerja, Ansory mengaku mengetahui arah dari rancangan regulasi itu. Di antaranya, terang dia, omnibus law lebih banyak mengakomodasi kepentingan kelompok pengusaha sebagai investor dan cenderung mengabaikan hak pekerja. ”Saya kira ini garis besarnya,” ucap dia.
Ansory mempersilakan pemerintah segera menyerahkan draf dan naskah akademik RUU tersebut dan dibahas bersama DPR. Dengan begitu, tidak terus-menerus timbul spekulasi di publik, terutama kelompok buruh.
Senada, anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning mengungkapkan, sumber gejolak tersebut berawal dari penyusunan omnibus law yang terkesan tertutup. ”Bahkan, kita seperti kucingkucingan. Buruh bilang sudah dapat bocoran. DPR sendiri belum bisa pastikan kebenaran naskah RUU itu,” kata dia.
Prinsipnya, jelas Ribka, DPR akan mendukung langkah pemerintah jika kebijakannya berpihak kepada masyarakat. Termasuk kalangan pekerja. Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah segera mengirim draf RUU omnibus law ke DPR. ”Agar semua jelas. Sebetulnya apa yang diupayakan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.
Pemerintah juga perlu mengajak serikat pekerja buruh berkomunikasi. Sebab, banyak serikat pekerja yang bisa mewakili kalangan pekerja. Politikus PDIP itu meminta pemerintah tidak terlalu tunduk pada kepentingan pemodal. Para investor luar negeri, tutur Ribka, punya kepentingan dalam penyusunan omnibus law sehingga ingin RUU itu segera disahkan. ”Saya bilang pemerintah tidak boleh tunduk. Kekayaan alam kita banyak lho. Kita bisa mandiri tanpa investor asing sekalipun,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, Senin (20/1) ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka menolak kebijakan upah per jam serta aturan tentang pesangon dalam omnibus law.
Menanggapi sistem pengupahan yang mendapat penolakan tersebut, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengatakan, pelaku usaha akan mendukung apa pun pertimbangan pemerintah. Melalui skema upah per jam, kata dia, pemerintah pasti memiliki tujuan agar produktivitas ekonomi tercapai dan kegiatan bisnis berjalan dengan baik.
”Salah satu komponen utama kegiatan bisnis itu pekerja dan upah. Selagi kebijakan pemerintah itu menjadi solusi bagi buruh, pengusaha, ekonomi, dan rakyat, tentu pengusaha mendukung,” ujar Sutrisno.
Sementara itu, pengamat ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat bahwa sistem gaji atau upah per jam sebenarnya belum cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, belum ada jaminan pengangguran seperti di negara maju. Ketika pekerja diupah berdasar jam, kemudian jam kerjanya tidak cukup membiayai pengeluarannya, sudah seharusnya negara hadir memberikan kesempatan kerja lainnya.
Skema upah per jam, lanjut Bhima, bisa jadi lebih menguntungkan bagi pengusaha. Sebab, di kala produksi sedang turun, beban biaya upah pekerja bisa berkurang atau dikurangi. ”Nah, yang akan ada dampak negatif itu pekerja. Pekerja akan dilanda ketidakpastian pendapatan per bulan karena naik turunnya jam kerja ditentukan pengusaha, bukan pekerja. Jika diterapkan secara nasional, dikhawatirkan daya beli pekerja akan turun signifikan,” urai Bhima.
Solusi Hambatan Investasi Pelaku usaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menegaskan bahwa peraturan tersebut tidak dibuat dengan memperhatikan kepentingan pengusaha semata. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Johnny Darmawan menyatakan, pembahasan omnibus law melibatkan banyak pihak salah satunya untuk mencari solusi meningkatkan investasi. ”RUU itu (Cipta Lapangan Kerja, Red) untuk mencari solusi atas rencana investasi yang kerap terhambat selama bertahuntahun karena tumpang-tindih aturan pemerintah pusat dan daerah,” jelas Johnny.
Aturan itu tidak hanya bertujuan menarik lebih banyak investor asing, tetapi juga domestik. Diharapkan, dengan formulasi aturan yang baru, jumlah penanam modal dalam negeri bisa meningkat. Kadin memastikan bahwa kebijakan itu mempertimbangkan kepentingan semua pihak. ”Pembangunan ekonomi harus dengan kerja sama dari semua pihak,” tegas Johnny.
Di bagian lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Andry Satrio Nugroho mengatakan, salah satu tujuan besar omnibus law sebagai penyederhanaan perizinan berusaha perlu kehati-hatian. Sebab, kegiatan ekspor dan impor akan berpotensi menjadi lebih longgar. ”Memang ini akan mendorong frekuensi perdagangan, tetapi akan menjadi tidak terkontrol dan perdagangan tidak berkualitas karena beberapa perizinan bisa saja dihapus. Ini perlu diwaspadai karena bisa jadi efek omnibus law justru akan meningkatkan defisit perdagangan kita ke depan,” ulas Andry.
Menurut dia, perlu dilakukan diversifikasi perdagangan lebih lanjut. Sebab, Indonesia masih menggantungkan perdagangannya pada impor negara-negara besar, termasuk Tiongkok. ”Pada saat model kerja sama perdagangan di berbagai dunia mulai mengarah pada restriksi karena isu kedaulatan ekonomi, jangan sampai Indonesia malah terlena dengan omnibus law dengan memberikan karpet merah terhadap skema perdagangan yang tidak berkualitas,” tambah Andry.
Kewajiban Sertifikasi Halal RUU omnibus law yang terdiri atas sebelas klaster juga mengatur ketentuan penghapusan kewajiban sertifikasi halal untuk produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia. Dalam naskah RUU itu terdapat tujuh bab dan 553 butir pasal. Di ketentuan penutup RUU tersebut, ada sejumlah pasal dalam 32 undang-undang (UU) yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Antara lain pasal 4, pasal 29, pasal 42, dan pasal 44 UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Untuk diketahui, pasal 4 dalam UU 33/2014 tentang JPH berbunyi: produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kemudian, pasal 29 yang mengatur mekanisme pengajuan sertifikat halal juga dicabut.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) Sukoso mengatakan, pihaknya sempat dimintai pertimbangan dan masukan untuk penyusunan RUU itu. ”Tapi (lebih pada, Red) penyederhanaan. Pasal 4 (UU 33/2014 tentang JPH, Red) tidak kami utak-atik. Sertifikasi halal tetap ada,” ucapnya.
Hilangnya pasal jaminan halal dalam draf RUU Cipta Lapangan Kerja mendapat kritik tajam dari parpol di parlemen. Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi mengatakan, fraksinya sepakat dengan ide pemerintah untuk mempercepat investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, itu tak boleh sampai mengabaikan fakta-fakta yang menjadi kewajiban bagi umat Islam.