Bawaslu Soroti Potensi Calon Tunggal Pilkada
Sudah Terdeteksi Peluang di Lima Daerah
JAKARTA, Jawa Pos – Calon tunggal tidak dilarang dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah. Meski demikian, fenomena tersebut dianggap sebagai kemunduran dalam demokrasi. Karena itulah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta parpol tidak membuat skenario calon tunggal yang sangat merugikan pemilih itu.
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan, pihaknya mulai mendeteksi peluang terjadinya calon tunggal di beberapa daerah. Hingga kemarin, potensi besar terjadi di lima kabupaten/kota. Itu terjadi di wilayah Jawa Tengah, Sumatera, dan Papua. ’’Indikasi di beberapa daerah memang mengarah ke calon tunggal,’’ ujar Rahmat.
Namun, dia enggan menyebut lebih detail daerah mana saja yang rawan dikuasai calon tunggal. Yang lebih diupayakan saat ini adalah mendorong parpol agar tidak membuat skenario koalisi yang menghasilkan satu pasangan calon saja. Sebab, kondisi tersebut bisa merugikan pemilih. ’’Karena tidak ada calon alternatif yang bisa dipilih masyarakat,’’ imbuhnya.
Di luar daerah yang diidentifikasi Bawaslu, sebenarnya potensi munculnya calon tunggal juga terjadi di Bali. Sebab, PDI Perjuangan merupakan partai mayoritas di wilayah berjuluk Pulau Dewata tersebut. Setidaknya ada dua kabupaten yang sangat berpeluang dikuasai calon tunggal. Yakni, Badung dan Jembrana.
Di dua daerah tersebut, suara PDIP pada Pemilu 2019 menang mutlak. Di Kabupaten Badung, PDIP menguasai 28 di antara total 40 kursi DPRD. Di Kabupaten Jembrana, partai besutan Megawati Soekarnoputri itu menguasai 18 di antara total 35 kursi DPRD setempat.
Kekhawatiran Bawaslu sejalan dengan prediksi yang pernah diungkapkan lembaga riset Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif. Menurut mereka, sejak Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan larangan calon tunggal dalam pilkada, fenomena satu calon terus bertambah. Awalnya hanya terjadi di tiga daerah pada 2015. Kemudian bertambah menjadi sembilan daerah pada 2017. Lalu bertambah lagi menjadi 16 daerah pada 2018.
Pada 2020, Kode Inisiatif memprediksi jumlah calon tunggal meningkat. Sebab, hampir semua calon tunggal dalam pilkada selalu menang. Para kandidat pun mulai sadar bahwa model calon tunggal bisa memberikan jaminan untuk lebih mudah terpilih sebagai kepala daerah.
Calon Perseorangan Susut Sementara itu, calon kepala daerah dari jalur perseorangan diprediksi menyusut. Selain beratnya persyaratan untuk mencalonkan diri, maraknya politik oligarki membuat calon dari jalur perseorangan sulit bersaing.
Syarat yang berat bagi calon perseorangan itu terkait dengan jumlah syarat dukungan yang harus disertakan saat mendaftar. Misalnya, dalam pemilihan gubernur, syarat dukungan untuk calon perseorangan antara 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Perinciannya, 10 persen untuk jumlah DPT 2 juta; 8,5 persen untuk jumlah DPT 2 juta–6 juta; 7,5 persen untuk jumlah DPT 6 juta–12 juta; dan 6,5 persen untuk jumlah DPT lebih dari 12 juta.
’’Dari syarat itu saja kan berat sekali,’’ ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw kemarin (21/1).
Menurut Jerry, kondisi itu diperparah menguatnya politik oligarki. Kerabat dekat orang yang duduk di lingkaran kekuasaan makin vulgar menyatakan diri untuk ikut berkontestasi dalam pilkada. Baik di level kabupaten/kota untuk jabatan bupati/wali kota maupun provinsi untuk jabatan gubernur.
Dia mencontohkan majunya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution yang merupakan anak dan menantu Presiden Jokowi. Juga Siti Nur Azizah yang merupakan putri Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin. ’’Memang bukan hal baru, tapi cenderung menguat di pilkada 2020,’’ imbuhnya.
Menguatnya politik oligarki juga ditandai maraknya politik uang serta bermunculannya calon tunggal. Menurut Jerry, calon kepala daerah tunggal terjadi karena parpol tidak berhasil menciptakan kaderisasi. ’’Untuk menekan politik oligarki, pemilik hak suara harus dikuatkan. Supaya mereka benar-benar menggunakan hak pilih untuk calon yang tepat,’’ ujarnya.