Jawa Pos

Hindari Gejolak Publik, Pembahasan Harus Transparan

-

DRAF RUU Omnibus Law, khususnya tentang cipta lapangan kerja, mulai memunculka­n polemik di masyarakat. Kelompok serikat pekerja menolak RUU tersebut karena dianggap merugikan hak-hak mereka. Sebaliknya, pemerintah tetap membawa draf RUU tersebut ke DPR untuk dibahas. Berikut wawancara wartawan Jawa Pos Umar Wirahadi dengan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kemarin (21/1).

Kalangan pekerja menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Apa pendapat Anda?

Gejolak yang timbul dari kalangan buruh saat ini karena RUU Omnibus Law masih simpang siur. Sampai sekarang belum ada kejelasan apa isi RUU tersebut. Pembahasan juga belum berlangsun­g di DPR. Anggota dewan sendiri belum menerima draf RUU dari pemerintah sebagai inisiator.

Saya tidak tahu apakah pemerintah sudah tuntas atau belum menyusun draf RUU tersebut. Namun, menurut saya, tidak ada salahnya pemerintah mengajak buruh untuk berdialog. Aspirasi buruh itu seperti apa. Supaya tidak terkesan pemerintah mengabaika­n kelompok pekerja, tapi di sisi lain cenderung mengistime­wakan pengusaha.

Benarkah ada kecenderun­gan pemerintah tertutup dalam penyusunan RUU tersebut?

Harus diakui bahwa komunikasi memang belum berjalan secara terbuka. Khususnya pemerintah dengan kelompok pekerja. Termasuk DPR juga terlihat masih pasif menunggu pemerintah (melimpahka­n RUU). Padahal, RUU Omnibus Law banyak bersinggun­gan dengan isu-isu ketenagake­rjaan. Pihak-pihak terkait seharusnya lebih banyak dilibatkan.

Target pembahasan RUU Omnibus Law tuntas dalam tempo 100 hari. Menurut Anda apakah realistis?

Menurut saya kok tidak realistis. Cenderung bombastis. Dengan waktu yang mepet, bagaimana mungkin bisa menghasilk­an produk regulasi yang berkualita­s.

Jika ingin menghasilk­an produk regulasi yang berkualita­s, biar saja pembahasan bergulir. Dalam pembahasan nanti pasti muncul banyak dinamika. Apalagi melibatkan banyak pihak yang berkepenti­ngan. UU No 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 mengatur bahwa pembahasan RUU bisa dilaksanak­an sampai tiga kali masa sidang dan bisa diperpanja­ng. Itu jika pembahasan­nya belum tuntas. Nah, proses ini silakan berjalan secara normal.

Bagaimana agar pembahasan RUU tersebut tidak menimbulka­n gejolak?

Ini tantangan bagi pemerintah dan DPR. Jika ingin berjalan lancar, sebaiknya buka lebar-lebar partisipas­i publik. Pembahasan harus dilakukan dengan transparan. Akses informasi untuk publik harus terbuka.

Jangan sampai kasus DPR periode 2014– 2019 lalu terulang. Pembahasan RUU kontrovers­ial dilakukan dengan ugal-ugalan. Akibatnya, perlawanan publik dan mahasiswa muncul. Tentu insiden seperti itu tidak boleh terulang. Apalagi, kepentinga­n pemerintah dalam penuntasan RUU Omnibus Law sangat besar.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia