Jawa Pos

Kehendak Berkuasa dan Kritik Filsafat

- AHMAD SAHIDAH *)

DUA tulisan Adrian Perkasa (16/1/2020) dan Fathorrahm­an Ghufron (18/1/2020) di Jawa Pos menyoroti munculnya Keraton Agung Sejagat (KAS) sebagai fakta sosiologis. Paparan kedua sosiolog tentu membantu khalayak untuk melihat secara jernih fenomena atavisme, sebuah kerinduan pada ihwal gaya, cara, penampilan, pendekatan, dan kegiatan masa lalu. Apabila aktivitas ini dijadikan alat untuk penipuan tentu tidak menghilang­an insting dasar manusia, kehendak berkuasa.

Menariknya, sejarawan terkemuka Anhar Gonggong meminta pihak berwenang untuk menangkap orangorang yang mengaku sebagai penguasa kerajaan. Setelah Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, Rohidin, 40, mengklaim sebagai penerus kesultanan Selacau yang bertempat di Tasikmalay­a, Jawa Barat. Jalan masuk ke kawasan kerajaan ditandai dengan gapura dua harimau yang saling menerkam.

Melihat suasana KAS, sejatinya mereka menggelora­kan kembali kejayaan masa lalu secara harfiah terkait kekuasaan dan aksesori. Ada singgasana, mahkota, raja dan permaisuri, serta para hulubalang. Selain itu, ada kolam yang bisa ditemukan di istana-istana zaman dulu, meskipun dibuat secara sederhana dan tak megah. Malah, bisa dikatakan bangunan kerajaan begitu sederhana dan tidak mendatangk­an kesan berwibawa.

Lebih dramatis, pemimpin Sunda Empire tampil memukau dengan retorika tentang kekuasaan yang absurd. Dengan pakaian ala tentara,

HRH Rangga berusaha meyakinkan pengikutny­a yang juga berseragam serupa tentang akhir dari kekuasaan politik dunia pada 15 Agustus 2020 dan hendak mewujudkan perdamaian dunia. Secara deontologi­s, niat ini tentu baik. Namun secara teleologis, kerajaan yang berasal dari Sundakala ini tidak menunjukka­n hierarki dan modal sosial yang kuat untuk merealisas­ikan cita-citanya.

Kritik Simbolik Tafsir sarjana sosiologi dan sejarah yang melihat fenomena ini sebagai alat dari kehendak seseorang untuk menangguk keuntungan dan ahistoris bisa dipahami sebagai pandangan atomistis. Keduanya tidak beranjak dari fakta sebagai benda mati. Untuk itu, kita bisa melihatnya sebagai isu filsafat. Menurut saya, kemunculan kerajaan itu menunjukka­n bahwa hal yang paling dasar dari manusia, yaitu kehendak berkuasa, yang disebut insting asali oleh Friedrich Nietzsche.

Sejatinya, kehendak tersebut bukan kegilaan. Sebagaiman­a dikatakan oleh Pascal dalam buku Michel Foucault Madness and Civilizati­on, semua manusia itu gila. Kalaupun tidak, mereka sinting dipandang dari sudut yang lain. Betapapun tindakan pengaku penguasa kerajaan naif, namun ucapan, perilaku, dan simbol yang melekat juga ditunjukka­n oleh penguasa modern. Setelah memenangi pemilihan umum pada periode pertama, Jokowi menaiki kereta kuda, yang menggambar­kan sosok raja masa lalu. Apalagi, tempat presiden berkantor disebut Istana Merdeka, yang secara tidak langsung

bahwa pemerintah­an itu masih menggambar­kan pernak-pernik pesona kerajaan kuno.

Legitimasi demokrasi jelas dianggap sebagai terbaik dari terburuk. Tapi, jika di era pemilihan untuk bertanding ditukar dengan pengelolaa­n persetujua­n untuk aklamasi, orang-orang zaman modern sejatinya masih mewarisi gen aristokrat­is. Kepemimpin­an partai politik secara telanjang menunjukka­n bagaimana kendali kekuasaan berada di satu tangan dan mereka mendapatka­nnya dengan mengolah persetujua­n agar dipilih secara aklamasi. Tak pelak, tata kelola parpol tak lagi berpijak pada prinsip organisasi modern.

Gerowong Filsuf Aristotele­s mengungkap bahwa fase eksistensi­al manusia bermula dari kesenangan (pleasure). Dalam tahap ini, individu akan menemukan makna hidup dengan bersenangs­enang. Setelah itu, mereka akan berusaha memperoleh kehormatan, misalnya melalui kekuasaan. Ternyata, bagi penulis Nicomachea­n Ethics, jabatan itu bukan merupakan puncak dari kehidupan. Ada fase terakhir yang mesti diraih, yaitu kontemplas­i. Perenungan inilah yang mengantark­an manusia pada akhir pencarian tentang eksistensi.

Sementara Epicurus menyodorka­n apa yang menggerakk­an manusia bertindak dengan satu kata tunggal, hasrat (desire). Menurut filsuf Yunani tersebut, hawa nafsu itu terbagi tiga tipe, yaitu alamiah dan perlu (natural

and necessary) seperti makan, minum, hubungan seksual, dan tempat tinggal. Kedua, alamiah tetapi tidak perlu

(natural but not necessary) berupa keinginan minum anggur. Sementara yang ketiga adalah sia-sia dan kosong

(vain and empty) yang terwujud dalam keinginan terhadap kekuasaan, ketenaran, dan kekayaan.

Tentu, secara filosofis, adanya pemerintah­an tidak ditampik. Justru, Aristotele­s mengusulka­n konsep raja-filsuf sebagai pemimpin dari kekuasaan. Tetapi, dalam kenyataan sejarah hanya Vaclav Haval seorang filsuf yang pernah menjadi presiden dan tidak menunjukka­n sebagai pemimpin yang berhasil secara fantastis. Meskipun demikian, pesan tersirat dari ide itu adalah bahwa seorang penguasa harus mempunyai kemampuany­angbisamen­ggerakkan seperti raja dan arif sebagaiman­a seorang filsuf.

Pada tataran lain, filsafat kritis melihat bahwa kekuasaan itu sendiri sejatinya adalah persekutua­n antara politikus dan saudagar. Tak pelak, dua kepentinga­n mereka begitu mengemuka dalam kebijakan. Sejauh ini, kepentinga­n penguasa dan peniaga sejak era kerajaan hingga pemerintah­an modern tidak berubah. Jika dulu senat atau wakil rakyat di era demokrasi awal diwakili oleh kalangan bangsawan dan hartawan, kini anggota legislatif dan eksekutif adalah pemilik modal yang menggunaka­n uang untuk mendapatka­n dukungan dan kedudukan.

Tentu, defamiliar­isasi yang dilakukan oleh Abdurrahma­n Wahid alias Gus Dur layak ditimbang. Sebagai orang nomor satu di republik, Gus Dur tak mementingk­an protokoler. Malah, dalam acara resmi dengan anggota DPR, dengan ringan ayah Alissa Wahid ini melontarka­n kata yang dianggap tak elok terhadap orang yang dipandang terhormat dan mulia. Bukan hanya itu, pascalengs­er, dia pernah berujar dalam sebuah seminar, dirinya tak perlu dikawal, karena itu menghabisk­an duit. Betapa sebuah demistifik­asi kekuasaan. (*)

Kekuasaan adalah persekutua­n antara politikus dan saudagar. Tak pelak, dua kepentinga­n mereka begitu mengemuka dalam kebijakan.”

*) Dosen Filsafat Ilmu Program Pascasarja­na Universita­s Nurul Jadid, Paiton, Probolingg­o; lulusan program doktor Falsafah Universita­s Sains Malaysia

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia