Jawa Pos

Legislatif Ngotot Mengubah, Eksekutif Anggap Relevan

-

SURABAYA, Jawa Pos – Tarif pajak bumi dan bangunan kembali dibahas di DPRD Surabaya setelah mandek tahun lalu gara-gara pergantian anggota dewan. Pemkot tetap menganggap Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih relevan. Namun, pansus Raperda PBB yang baru dibentuk menanyakan keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 208 Tahun 2018 tentang Pedoman Penilaian PBB Pedesaan dan Perkotaan.

’’Perda milik Surabaya kan dibuat pada 2010. Nah, permenkeu-nya tentang pedoman penilaian PBB baru keluar 2018. Kok Anda masih bilang relevan?’’ ucap Wakil Ketua Komisi B Anas Karno

Sebelum Anas bertanya, Kepala Badan Pengelolaa­n Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Yusron Sumartono menyatakan bahwa perda milik pemkot tersebut masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pernyataan itu juga didukung Kabag Hukum Pemkot Surabaya Ira Tursilowat­i.

Anas menyatakan belum mempelajar­i seluruh pasal di permenkeu tersebut. Namun, saat membaca judulnya, Anas sudah bisa menyimpulk­an bahwa perda PBB milik pemkot seharusnya direvisi.

Menurut Anas, terdapat sejumlah alasan lain mengapa Perda PBB harus direvisi. Pertama, keluhan warga tentang tagihan PBB yang semakin mahal banyak diterima dewan. Apalagi, penyesuaia­n nilai jual objek pajak (NJOP) naik setiap tahun. Saat NJOP dinaikkan, otomatis beban PBB ikut naik.

Kedua, perda tersebut sudah berusia satu dekade. Anas menerangka­n bahwa ketentuan dalam perda itu sudah tidak relevan dengan kondisi terkini. Tarif dalam perda itu ditentukan NJOP dengan batasan Rp 1 miliar. Jika kurang dari itu, tarifnya cuma 0,1 persen. Jika lebih dari itu, tarifnya langsung naik dua kali lipat jadi 0,2 persen.

NJOP Rp 1 miliar seolah-olah jadi pembatas bangunan mahal dan murah. Anas merasa patokan itu mungkin relevan dengan kondisi pada 2010. Namun, 10 tahun setelahnya harga tanah di Surabaya melambung tinggi. ’’NJOP Rp 1 miliar sekarang ada di mana-mana. Bahkan di kampung,’’ tegas politikus berlatar belakang advokat itu.

Ketiga, ada banyak opsi untuk mengubah tarif tanpa menurunkan potensi pendapatan pemkot. Anas mengusulka­n adanya subsidi silang. Tarif PBB masyarakat yang punya rumah dengan NJOP kecil diturunkan. Masyarakat dengan perekonomi­an kuat kena tarif lebih mahal.

Yusron menyatakan belum tahu mengenai aturan baru tersebut. Menurut dia, dasar hukum Perda PBB adalah UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. ’’Isi perda kami sama sekali tidak bertentang­an dengan aturan itu. Jadi, kami tetap berpedoman pada aturan yang lebih tinggi,’’ katanya.

Dalam UU tersebut, pemda diberi kewenangan untuk menentukan sendiri tarif PBB. Asal tidak melebihi 0,3 persen. Yusron menerangka­n, tarif yang ada dalam perda lama masih sesuai dengan UU tersebut. Makanya, pemkot tetap berpendapa­t bahwa Perda PBB masih relevan.

 ?? SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS ?? RAPAT KEDUA: Pansus Raperda PBB rapat bersama BPKPD dan Bagian Hukum Pemkot Surabaya.
SALMAN MUHIDDIN/JAWA POS RAPAT KEDUA: Pansus Raperda PBB rapat bersama BPKPD dan Bagian Hukum Pemkot Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia